FF SEULMI + HANBIN | SECRET ADMIRER 2 (2 OF 2) END
Main Cast : Kim Hanbin, Park Seulmi
Support Cast : Song Mino, Bobby
Genre : Angst(?)
Rating : General
Length : Two shots
Story Begin..
Apa kau pernah berusaha percaya kepada seseorang yang tak seharusnya?
Menurutku, kepercayaan sangatlah penting, seakan pengikat dari rasa-rasa yang lain. Setidaknya begitu perumpamaannya.
Lalu, apa pantas aku memercayaimu? Aku hanya.. sedikit ragu.
Hal ini terlalu mudah untuk ditebak, seperti kereta yang selalu patuh mengikuti relnya.
Tapi dalam kasus ini, akulah yang tidak memercayai diriku sendiri.
Sampai kapan aku harus mengagumimu diam-diam?
Aku mengeluh menjadi diriku yang hanya mampu membisikkan kata-kata peduliku kepada angin yang nantinya akan menelusup perlahan melewati celah jendela kamarmu.
Kau pikir ini mudah?
Hei.., tak bisakah kau sepeka harapanku?
Malam di kediaman keluarga Kim, seseorang sedang merenung di kamarnya; kamar yang didominasi dengan warna putih gading dan abu-abu. Ia berbaring di atas tempat tidurnya yang berukuran sedang - sambil membaca tulisan Seulmi di salah satu akun media sosialnya yang Seulmi privasikan; hanya orang-orang tertentu yang tahu. Hatinya sedikit terketuk. Seperti Seulmi mampu mengirim kesakitan di setiap tulisannya yang sederhana itu.
Hanbin mematikan ponselnya - sedikit menjauhkan benda persegi panjang itu dari tubuhnya. Ia mencoba untuk tidur. Malam pukul 9, waktu yang tepat untuk seorang pelajar terlelap mengingat besok ada ulangan Biologi. Ia sudah belajar dari jauh-jauh hari, jadi ia tak memusingkan hal itu malam ini.
Tapi nyatanya, ia tak bisa tidur meskipun sudah berusaha setengah mati. Kepalanya dipenuhi dengan suara lirihan kecil entah milik siapa. Ia tutup wajahnya menggunakan bantal, berguling-guling tak jelas, karena satu nama terus saja membebaninya. Park Seulmi.
“Seseorang yang pernah dia buatkan bento untuk bekal makan siang. Seseorang yang memiliki hobi yang sama dengannya. Seseorang yang suka sekali menonton film dan membaca novel bergenre misteri.”
Tidak. Tiba-tiba saja suara Bobby terngiang-ngiang di kepalanya. Ingin ia menepis dan pura-pura tak mendengarkan, tapi bahkan itu bukan suara sungguhan. Hatinya yang ikut melebur bersama memori siang tadi. Jiwanya yang merasakan ada debaran halus tak teratur. Hingga menepisnya pun rasanya seperti harapan yang lebih tipis dari angan-angan.
Hanbin mendudukkan tubuhnya. Ia teringat dengan tulisan Seulmi yang menghebohkan sekolah.
Tadi sore, sepanjang jalan Hanbin melintasi koridor kelas untuk ke lapangan basket, yang ia dengar hanyalah obrolan siswa-siswi dengan nada-nada kagum bahkan heran mengenai tulisan Seulmi yang terbaru. Ia penasaran bagaimana isi keseluruhan cerita tersebut.
Hingga ia mengambil ponselnya, memutuskan untuk membuka blog milik Seulmi.
inparkseulmisplace.com
Hanbin mencarinya. Seharusnya tulisan itu ada di deretan teratas karena baru saja diterbitkan. Nihil. Tulisan itu sudah tidak ada lagi. Short story itu telah dihapus. Entah apa alasannya.
Hanbin mendengus, “Apa maumu Park Seulmi?”
** Monday, January 4, 2016 **
Mentari pagi telah membiaskan cahayanya ke segala arah. Cicitan burung menyambut dengan gembira. Mereka bersahutan merdu, layaknya alunan melodi yang bersatu untuk saling mengindahkan.
Semilir angin menari sempurna di antara cicitan burung itu, menerbangkan dedaunan yang nyaris kering berwarna cokelat tua sampai pada titik-titik tertentu.
Sosok itu membuka gorden kelasnya. Alam terlihat jelas di benda transparan itu. Ia berdiri menghadap penuh pada jendela. Sedikit tersenyum tapi kemudian menggigit bibir bawahnya.
“Selamat pagi Seulmi-ya..” sapa teman sekelas Seulmi.
Seulmi menoleh, tersenyum hangat, “Ah, selamat pagi Bora-ya..” ucapnya ramah.
Ia kembali menghadap jendela. Memerhatikan pemandangan di bawah sana. Entah mengapa hari ini seperti akan ada hal buruk terjadi. Ia menggeleng pelan. Mengangkat kedua tangannya lalu menangkupkannya untuk berdoa kepada Tuhan. Semoga hari ini dan seterusnya baik-baik saja.
Tiba-tiba saja, seseorang memegang tangan kanannya. Seulmi langsung menoleh. Matanya terbelalak melihat Hanbin yang menggenggam erat tangannya sambil memasang wajah terdatar miliknya.
“Ikut aku.” seru Hanbin sambil menarik lengan Seulmi.
Meski Seulmi sudah meronta meminta dilepaskan; karenya nyatanya ia bisa berjalan sendiri tanpa harus diseret layaknya seekor domba, Hanbin tetap saja mempertahankan tautan lengan keduanya. Ia terus membawa Seulmi entah ke mana.
Mereka terus berjalan dengan cepat. Seulmi yang sulit mengimbangi langkah Hanbin yang besar terlihat seperti sedang berlari-lari kecil. Ia terus saja menggerutu tidak jelas; melafalkan sumpah serapah untuk mengutuk Hanbin. Jika Tuhan sedang berpihak kepadanya, ia berharap Tuhan mengutuk Hanbin menjadikotoran anjing.
Hn, Seulmi memang keterlaluan.
Mereka tentu saja melewati koridor kelas-kelas lain. Dan tentu saja pula hal itu membuat semua mata yang mereka lewati tertuju pada tautan tangan keduanya. Membuat siswi-siswi yang sedang bergerombol langsung saling berbisik. Hei.. tentu saja! Blogger terkenal dan kapten tim basket sekolah mereka sedang berpegangan tangan dengan wajah yang tak bisa diprediksi.
Ini gosip yang tak boleh terlewatkan.
Sampai ketika mereka melewati kelas 3-1, seseorang memandang mereka dengan lekat. Tatapannya seperti sedang mengintimidasi.
Temannya yang berada di sebelahnya bertanya, “Itu Seulmi dan sepupumu Hanbin, kan?”
Ia tersenyum kecut, “Ya. Itu mereka.” jawabnya.
***
Kini Seulmi dan Hanbin sudah berada di atap sekolah.
Seulmi mengelus tangan kanannya yang sedikit nyeri karena tarikkan Hanbin tadi.
Mata Seulmi seperti seorang idiot kebingungan yang siap mempertanyakan banyak hal. Tentu saja. Hanbin tidak biasanya seperti ini. Dan ia benci Hanbin yang seperti ini.
Seulmi memekik, “Ada apa denganmu?! Kenapa membawaku ke sini?!”
“Kenapa kau memosting tulisan seperti itu, Iseul?!” tanya Hanbin tak menggubris pertanyaan Seulmi.
Seulmi terheran, ia melipat tangannya di dada. “Seperti itu apa maksudmu?!”
Hanbin menunjuk wajah Seulmi, “Kau- kau memostingnya. Tapi kemudian menghapusnya. Apa maksudmu?!”
“Itu benar. Lalu mengapa kau marah-marah padaku?!”
Hanbin berdecak, “Tentu saja aku marah. Dengarkan sahabatmu ini, Iseul. Penggemarmu banyak sekali di sekolah ini. Kau menulis hal seperti itu, tentu akan banyak yang kecewa.” ucap Hanbin mulai lunak. Ia lelah untuk mengatakan hal-hal yang percuma.
Seulmi menggeleng keras, “Tidak. Mereka bahkan memujiku. Mereka ada berkata ingin lebih tahu tentang kisahku.”
Hanbin kembali berdecak sebelum berkata; “Mungkin ada sebagian dari mereka yang patah hati. Kau harus memikirkannya,”
Seulmi menggeleng. Bukan karena ia tak setuju dengan perkataan Hanbin. Ia hanya keheranan. “Jadi kau bersikap aneh kemarin karena hal ini, Kim Hanbin? Asal kau tahu saja, aku sudah menghapusnya semalam.”
“Hampir semua orang di Cheongdam High School sudah membacanya. Tidak ada guna kau menghapusnya.”
“Memang di mana letak kesalahannya? Bukankah menulis adalah suatu kebebasan? Semua orang bebas menulis apa pun! Tidak ada batasan-batasan dalam menulis!” kata Seulmi dengan emosinya yang sudah mengumpul minta dikeluarkan. Ia kesal jika ada yang membatasinya untuk menulis. Menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Hanbin menyunggingkan bibirnya, “Meskipun harus ada yang terluka?”
“Hanbin-”
“Tidakkah kau memikirkannya, Park Seulmi?” Hanbin berkata lirih. Suaranya bahkan sedikit bergetar. Ia menatap sendu sahabatnya itu, “Aku tahu siapa orang itu..”
“Kau tahu aku mencintai siapa?” tanya Seulmi terkejut. Hanbin hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Aku memostingnya karena- tidak. Kau tidak mengerti bagaimana rasanya memendam perasaan. Aku menyukai orang itu sejak dulu. Tapi bahkan aku hanya bisa mencintainya diam-diam.” ucap Seulmi kemudian menunduk menyembunyikan wajah sedihnya.
Hanbin menggeleng, “Aku mengerti, Park Seulmi. Jauh sebelum kau merasakannya, aku sudah merasakannya.”
Mereka berdiri berhadapan. Pandangan mereka bertemu pada titik fokus masing-masing. Hanbin masih dengan wajahnya yang sendu sedangkan Seulmi bingung harus berkata apa.
Semilir angin menerbangkan rambut keduanya. Jika mereka adalah tokoh dalam drama atau film, mungkin sudah ada lagu bertema kesedihan yang mengiringi.
“Kau menyukai sepupuku, kan? Kau menyukai Song Mino?” tanya Hanbin lirih. Meskipun sebenarnya itu adalah sebuah pertanyaan retoris.
Seulmi bergeming dari tempatnya, matanya seakan berbicara; bagaimana kau bisa tahu?
Tapi nyatanya dia hanya diam saja tidak menyalahkan atau membenarkan.
“Kita selalu menghabiskan waktu bersama-sama sejak kecil, Iseul. Aku memahamimu. Tapi justru karena aku terlalu memahamimu, aku jatuh terlalu dalam akan dirimu. Setiap malam aku memikirkan mengapa hal ini bisa terjadi, tapi satu pun jawaban tidak kutemukan..”
Seulmi masih diam di tempatnya. Ia terlalu bingung dengan ucapan Hanbin.
“Kau- sejujurnya aku sedih. Kau begitu mencintainya sampai rela membuatkan bento untuknya setiap hari. Kau meletakkan bento itu di lokernya - padahal dia selalu menolaknya mentah-mentah dengan cara meletakkan bentomu di lantai. Lalu kau berikan bento itu padaku. Aku kau anggap apa, Iseul? Kau seperti memberiku barang bekas. Ah, tidak. Lebih tepatnya sampah.”
“Han-”
“Tidak. Tolong jangan bicara dulu. Aku hanya ingin kau mendengarkanku. Aku terlalu muak menyimpannya sendiri selama ini.”
Seulmi mengangguk dalam diamnya. Meskipun kenyataannya kakinya sudah lemas seperti agar-agar. Karena sekarang, ia mulai sedikit mengerti titik arah bicara Hanbin.
“Kau meminjamiku novel Sherlock Holmes yang kau beli karena Mino Hyung menyukainya. Itu menyakitkan, Iseul. Padahal aku jauh lebih menyukai Sherlock Holmes dibandingkan Mino Hyung. Aku bahkan memiliki semua novel karya Sir Arthur Conan Doyle tanpa perlu meminjamnya darimu..,”
“Kau juga rela mendownload sesuatu yang Mino Hyung suka secara ilegal. Kau berusaha mati-matian mendownload file yang terenkripsi. Kau habiskan uangmu dalam bentuk dollar untuk membeli aplikasi berbayar yang sangat mahal untuk mengotak-atik file yang terenkripsi itu. Kau berusaha untuk itu agar bisa pamer kemampuanmu kepada Mino Hyung yang jelas-jelas adalah seorang hacker pro. Kau ingin dia memandangmu..”
“Aku- tidak. Kau begitu mencintainya sejak tahun pertama di Cheongdam High School, kan?”
Seulmi hanya mampu mengangguk sebagai jawaban. Ia terlalu bisu hanya untuk sekedar mengatakan “Ya,”
“Tapi kau tidak pernah tahu.. akulah pemeran utama dalam tulisanmu yang sebenarnya. Akulah yang mencintai seseorang secara diam-diam. Akulah yang paling terluka karena tulisanmu kemarin. Akulah yang mencintaimu sejak dulu, sejak tahun kedua Junior High School. Kau tidak pernah tahu itu, Iseul. Tidak pernah..”
Seulmi mematung. Jantungnya derdetak lebih cepat dari biasanya. “Han-Hanbin, k-kau?” Seulmi terbata. Jika bisa memilih, ia ingin sekali berubah menjadi gantungan kunci bergambar anjing yang ada di tas Hanbin. Ternyata Hanbin belum menyimpan tasnya, Seulmi baru sadar akan hal itu.
Hanbin mengangguk, “Ya, Park Seulmi. Jika kau adalah pengagum rahasia Song Mino, maka aku adalah pengagum rahasiamu.”
Waktu seakan berhenti bergulir. Semua elemen di planet yang berbentuk lingkaran pepat ini seakan berhenti bergerak.
Seulmi tercekat. Tenggorokannya bahkan terasa kering. Ia seperti kekurangan oksigen untuk respirasi.
Sementara Hanbin masih sibuk mengatur dirinya agar tidak menangis. Ia tak boleh terlihat lemah di mata orang yang ia cintai.
Sampai pada akhirnya, bel masuk terdengar sampai ke atap sekolah. Meskipun menahan mati-matian agar tidak menangis, nyatanya air mata Hanbin tetap saja menggenang tertahan.
Hanbin menyeka asal air matanya yang menumpuk meminta dikeluarkan.
Hanbin bergerak dari tempatnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. Ia letakkan kertas itu ke telapak tangan Seulmi.
Seulmi sulit untuk merespon itu. Semua yang ada pada dirinya seakan membeku.
Hanbin tersenyum. Kemudian ia menyempatkan waktunya untuk membungkuk membetulkan tali sepatu Seulmi yang terlepas karena berjalan tergesa-gesa tadi. Hati Seulmi seperti baru saja bangun dari mimpi jatuh terperosok ke dalam jurang.
Hanbin berdiri, lalu berjalan membelakangi Seulmi. Sedikit demi sedikit ia menjauh. Sampai pada langkahnya entah yang ke berapa, ia berhenti namun tetap membelakangi Seulmi.
“Masuklah ke kelas. Kita ada ulangan Biologi.” ucapnya kemudian berlalu meninggalkan Seulmi yang masih mematung di sana.
Seulmi memandangi punggung Hanbin yang menjauh. Hingga pada langkah-langkah yang semakin menjauh, punggungnya hilang termakan pintu penghubung antara gedung utama dan atap sekolah.
***
Seulmi membuka kertas pemberian Hanbin dengan tangan gemetar. Ia perhatikan setiap inchi surat itu. Sisi-sisi bekas lipatannya sudah menguning. Itu berarti kertas itu sudah sangat lama tersimpan.
Ia tarik napas dalam-dalam sebelum membaca kertas yang entah apa isinya.
Debaran halus terasa begitu menyiksa.
Saturday, January 3, 2015
Aku adalah aku
Yang mencintaimu seperti mencintai bayang semu
Aku adalah aku
Yang berharap padamu seperti menanti siluet dalam gelap gulita
Aku adalah aku
Yang selalu distraksi antara bicara atau tetap bisu
Tapi, aku bukanlah aku
Yang ketika kau menceritakan tentangnya, aku tersenyum untuk menyemangatimu
Itu adalah aku yang aku ciptakan untukmu
Itu menyakitkan. Sungguh..
Seperti hari itu, ketika aku melihatmu yang menatap penuh arti terhadapnya
Kau memujanya seperti memuja dewa
Tidakkah kau berpikir usahaku-lah yang justru menikam diriku sendiri?
Menjadi pendengar yang baik,
Menjadi penyeka air matamu,
Menjadi sandaranmu saat kau lemah,
Menjadi seseorang yang rela memayungimu ketika hujan meskipun aku harus basah kuyup,
Aku seperti bunuh diri, kau tahu?
Lalu aku harus menyebut diriku ini apa? Baik atau bodoh? Atau malah.. menyedihkan?
Ah, benar. Aku menyedihkan. Sangat menyedihkan..
Orang ada berkata tentang jatuh cinta diam-diam
Dan ternyata benar. Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya mampu mengubur dalam-dalam sorot mata penuh kasihnya.
Tapi.., sampai kapan, Park Seulmi?
Bulir bening mengalir dari sudut mata Seulmi. Ia menangis. Membaca surat yang Hanbin tulis untuknya, yang ternyata dibuat sejak setahun yang lalu, membuat dadanya bagaikan ditusuk belati tajam. Sakit. Perih. Sesak.
Seperti Seulmi paham betul bagaimana rasanya menjadi Hanbin.
Ia tak bisa menahannya lagi, sampai isakkan terdengar jelas oleh alam yang menyaksikannya.
Bagaimana mungkin sahabatnya memendam sesuatu yang bahkan lebih berat dari bebannya sendiri? Dan bodohnya... ia sama sekali tidak pernah tahu.
Langit seakan berputar untuknya. Angin seperti sedang menertawakannya. Ingin sekali ia mengutuk dirinya sendiri saat ini.
Tetes demi tetes air mata melintasi pipinya yang seputih salju.
Mata indahnya ia tutup disertai hembusan napas terberatnya selama ia hidup.
Selama ini ia hanya menganggap Hanbin sebagai sahabat kecilnya tanpa tahu bagaimana sahabatnya itu menahan mati-matian agar rahasia hatinya tak terbongkar.
“Maaf...” gumamnya pelan terbawa angin.
Dan ternyata benar. Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya mampu mengubur dalam-dalam sorot mata penuh kasihnya.
THE END
Secret Admirer Part 1 (1 of 2)
PS: Jika ada kesamaan ide dalam cerita, saya berani bersumpah bahwa ini adalah karya saya sendiri. Jadi mungkin itu hanya kebetulan.
Hei pembaca yang baik.. hargailah karya penulis amatir ini dengan cara tidak memplagiat dan memberikan komentar yang membangun.
Terima kasih atas kunjungannya^^
With love,
Istifani M
Support Cast : Song Mino, Bobby
Genre : Angst(?)
Rating : General
Length : Two shots
Story Begin..
Apa kau pernah berusaha percaya kepada seseorang yang tak seharusnya?
Menurutku, kepercayaan sangatlah penting, seakan pengikat dari rasa-rasa yang lain. Setidaknya begitu perumpamaannya.
Lalu, apa pantas aku memercayaimu? Aku hanya.. sedikit ragu.
Hal ini terlalu mudah untuk ditebak, seperti kereta yang selalu patuh mengikuti relnya.
Tapi dalam kasus ini, akulah yang tidak memercayai diriku sendiri.
Sampai kapan aku harus mengagumimu diam-diam?
Aku mengeluh menjadi diriku yang hanya mampu membisikkan kata-kata peduliku kepada angin yang nantinya akan menelusup perlahan melewati celah jendela kamarmu.
Kau pikir ini mudah?
Hei.., tak bisakah kau sepeka harapanku?
Malam di kediaman keluarga Kim, seseorang sedang merenung di kamarnya; kamar yang didominasi dengan warna putih gading dan abu-abu. Ia berbaring di atas tempat tidurnya yang berukuran sedang - sambil membaca tulisan Seulmi di salah satu akun media sosialnya yang Seulmi privasikan; hanya orang-orang tertentu yang tahu. Hatinya sedikit terketuk. Seperti Seulmi mampu mengirim kesakitan di setiap tulisannya yang sederhana itu.
Hanbin mematikan ponselnya - sedikit menjauhkan benda persegi panjang itu dari tubuhnya. Ia mencoba untuk tidur. Malam pukul 9, waktu yang tepat untuk seorang pelajar terlelap mengingat besok ada ulangan Biologi. Ia sudah belajar dari jauh-jauh hari, jadi ia tak memusingkan hal itu malam ini.
Tapi nyatanya, ia tak bisa tidur meskipun sudah berusaha setengah mati. Kepalanya dipenuhi dengan suara lirihan kecil entah milik siapa. Ia tutup wajahnya menggunakan bantal, berguling-guling tak jelas, karena satu nama terus saja membebaninya. Park Seulmi.
“Seseorang yang pernah dia buatkan bento untuk bekal makan siang. Seseorang yang memiliki hobi yang sama dengannya. Seseorang yang suka sekali menonton film dan membaca novel bergenre misteri.”
Tidak. Tiba-tiba saja suara Bobby terngiang-ngiang di kepalanya. Ingin ia menepis dan pura-pura tak mendengarkan, tapi bahkan itu bukan suara sungguhan. Hatinya yang ikut melebur bersama memori siang tadi. Jiwanya yang merasakan ada debaran halus tak teratur. Hingga menepisnya pun rasanya seperti harapan yang lebih tipis dari angan-angan.
Hanbin mendudukkan tubuhnya. Ia teringat dengan tulisan Seulmi yang menghebohkan sekolah.
Tadi sore, sepanjang jalan Hanbin melintasi koridor kelas untuk ke lapangan basket, yang ia dengar hanyalah obrolan siswa-siswi dengan nada-nada kagum bahkan heran mengenai tulisan Seulmi yang terbaru. Ia penasaran bagaimana isi keseluruhan cerita tersebut.
Hingga ia mengambil ponselnya, memutuskan untuk membuka blog milik Seulmi.
inparkseulmisplace.com
Hanbin mencarinya. Seharusnya tulisan itu ada di deretan teratas karena baru saja diterbitkan. Nihil. Tulisan itu sudah tidak ada lagi. Short story itu telah dihapus. Entah apa alasannya.
Hanbin mendengus, “Apa maumu Park Seulmi?”
** Monday, January 4, 2016 **
Mentari pagi telah membiaskan cahayanya ke segala arah. Cicitan burung menyambut dengan gembira. Mereka bersahutan merdu, layaknya alunan melodi yang bersatu untuk saling mengindahkan.
Semilir angin menari sempurna di antara cicitan burung itu, menerbangkan dedaunan yang nyaris kering berwarna cokelat tua sampai pada titik-titik tertentu.
Sosok itu membuka gorden kelasnya. Alam terlihat jelas di benda transparan itu. Ia berdiri menghadap penuh pada jendela. Sedikit tersenyum tapi kemudian menggigit bibir bawahnya.
“Selamat pagi Seulmi-ya..” sapa teman sekelas Seulmi.
Seulmi menoleh, tersenyum hangat, “Ah, selamat pagi Bora-ya..” ucapnya ramah.
Ia kembali menghadap jendela. Memerhatikan pemandangan di bawah sana. Entah mengapa hari ini seperti akan ada hal buruk terjadi. Ia menggeleng pelan. Mengangkat kedua tangannya lalu menangkupkannya untuk berdoa kepada Tuhan. Semoga hari ini dan seterusnya baik-baik saja.
Tiba-tiba saja, seseorang memegang tangan kanannya. Seulmi langsung menoleh. Matanya terbelalak melihat Hanbin yang menggenggam erat tangannya sambil memasang wajah terdatar miliknya.
“Ikut aku.” seru Hanbin sambil menarik lengan Seulmi.
Meski Seulmi sudah meronta meminta dilepaskan; karenya nyatanya ia bisa berjalan sendiri tanpa harus diseret layaknya seekor domba, Hanbin tetap saja mempertahankan tautan lengan keduanya. Ia terus membawa Seulmi entah ke mana.
Mereka terus berjalan dengan cepat. Seulmi yang sulit mengimbangi langkah Hanbin yang besar terlihat seperti sedang berlari-lari kecil. Ia terus saja menggerutu tidak jelas; melafalkan sumpah serapah untuk mengutuk Hanbin. Jika Tuhan sedang berpihak kepadanya, ia berharap Tuhan mengutuk Hanbin menjadi
Hn, Seulmi memang keterlaluan.
Mereka tentu saja melewati koridor kelas-kelas lain. Dan tentu saja pula hal itu membuat semua mata yang mereka lewati tertuju pada tautan tangan keduanya. Membuat siswi-siswi yang sedang bergerombol langsung saling berbisik. Hei.. tentu saja! Blogger terkenal dan kapten tim basket sekolah mereka sedang berpegangan tangan dengan wajah yang tak bisa diprediksi.
Ini gosip yang tak boleh terlewatkan.
Sampai ketika mereka melewati kelas 3-1, seseorang memandang mereka dengan lekat. Tatapannya seperti sedang mengintimidasi.
Temannya yang berada di sebelahnya bertanya, “Itu Seulmi dan sepupumu Hanbin, kan?”
Ia tersenyum kecut, “Ya. Itu mereka.” jawabnya.
***
Kini Seulmi dan Hanbin sudah berada di atap sekolah.
Seulmi mengelus tangan kanannya yang sedikit nyeri karena tarikkan Hanbin tadi.
Mata Seulmi seperti seorang idiot kebingungan yang siap mempertanyakan banyak hal. Tentu saja. Hanbin tidak biasanya seperti ini. Dan ia benci Hanbin yang seperti ini.
Seulmi memekik, “Ada apa denganmu?! Kenapa membawaku ke sini?!”
“Kenapa kau memosting tulisan seperti itu, Iseul?!” tanya Hanbin tak menggubris pertanyaan Seulmi.
Seulmi terheran, ia melipat tangannya di dada. “Seperti itu apa maksudmu?!”
Hanbin menunjuk wajah Seulmi, “Kau- kau memostingnya. Tapi kemudian menghapusnya. Apa maksudmu?!”
“Itu benar. Lalu mengapa kau marah-marah padaku?!”
Hanbin berdecak, “Tentu saja aku marah. Dengarkan sahabatmu ini, Iseul. Penggemarmu banyak sekali di sekolah ini. Kau menulis hal seperti itu, tentu akan banyak yang kecewa.” ucap Hanbin mulai lunak. Ia lelah untuk mengatakan hal-hal yang percuma.
Seulmi menggeleng keras, “Tidak. Mereka bahkan memujiku. Mereka ada berkata ingin lebih tahu tentang kisahku.”
Hanbin kembali berdecak sebelum berkata; “Mungkin ada sebagian dari mereka yang patah hati. Kau harus memikirkannya,”
Seulmi menggeleng. Bukan karena ia tak setuju dengan perkataan Hanbin. Ia hanya keheranan. “Jadi kau bersikap aneh kemarin karena hal ini, Kim Hanbin? Asal kau tahu saja, aku sudah menghapusnya semalam.”
“Hampir semua orang di Cheongdam High School sudah membacanya. Tidak ada guna kau menghapusnya.”
“Memang di mana letak kesalahannya? Bukankah menulis adalah suatu kebebasan? Semua orang bebas menulis apa pun! Tidak ada batasan-batasan dalam menulis!” kata Seulmi dengan emosinya yang sudah mengumpul minta dikeluarkan. Ia kesal jika ada yang membatasinya untuk menulis. Menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Hanbin menyunggingkan bibirnya, “Meskipun harus ada yang terluka?”
“Hanbin-”
“Tidakkah kau memikirkannya, Park Seulmi?” Hanbin berkata lirih. Suaranya bahkan sedikit bergetar. Ia menatap sendu sahabatnya itu, “Aku tahu siapa orang itu..”
“Kau tahu aku mencintai siapa?” tanya Seulmi terkejut. Hanbin hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Aku memostingnya karena- tidak. Kau tidak mengerti bagaimana rasanya memendam perasaan. Aku menyukai orang itu sejak dulu. Tapi bahkan aku hanya bisa mencintainya diam-diam.” ucap Seulmi kemudian menunduk menyembunyikan wajah sedihnya.
Hanbin menggeleng, “Aku mengerti, Park Seulmi. Jauh sebelum kau merasakannya, aku sudah merasakannya.”
Mereka berdiri berhadapan. Pandangan mereka bertemu pada titik fokus masing-masing. Hanbin masih dengan wajahnya yang sendu sedangkan Seulmi bingung harus berkata apa.
Semilir angin menerbangkan rambut keduanya. Jika mereka adalah tokoh dalam drama atau film, mungkin sudah ada lagu bertema kesedihan yang mengiringi.
“Kau menyukai sepupuku, kan? Kau menyukai Song Mino?” tanya Hanbin lirih. Meskipun sebenarnya itu adalah sebuah pertanyaan retoris.
Seulmi bergeming dari tempatnya, matanya seakan berbicara; bagaimana kau bisa tahu?
Tapi nyatanya dia hanya diam saja tidak menyalahkan atau membenarkan.
“Kita selalu menghabiskan waktu bersama-sama sejak kecil, Iseul. Aku memahamimu. Tapi justru karena aku terlalu memahamimu, aku jatuh terlalu dalam akan dirimu. Setiap malam aku memikirkan mengapa hal ini bisa terjadi, tapi satu pun jawaban tidak kutemukan..”
Seulmi masih diam di tempatnya. Ia terlalu bingung dengan ucapan Hanbin.
“Kau- sejujurnya aku sedih. Kau begitu mencintainya sampai rela membuatkan bento untuknya setiap hari. Kau meletakkan bento itu di lokernya - padahal dia selalu menolaknya mentah-mentah dengan cara meletakkan bentomu di lantai. Lalu kau berikan bento itu padaku. Aku kau anggap apa, Iseul? Kau seperti memberiku barang bekas. Ah, tidak. Lebih tepatnya sampah.”
“Han-”
“Tidak. Tolong jangan bicara dulu. Aku hanya ingin kau mendengarkanku. Aku terlalu muak menyimpannya sendiri selama ini.”
Seulmi mengangguk dalam diamnya. Meskipun kenyataannya kakinya sudah lemas seperti agar-agar. Karena sekarang, ia mulai sedikit mengerti titik arah bicara Hanbin.
“Kau meminjamiku novel Sherlock Holmes yang kau beli karena Mino Hyung menyukainya. Itu menyakitkan, Iseul. Padahal aku jauh lebih menyukai Sherlock Holmes dibandingkan Mino Hyung. Aku bahkan memiliki semua novel karya Sir Arthur Conan Doyle tanpa perlu meminjamnya darimu..,”
“Kau juga rela mendownload sesuatu yang Mino Hyung suka secara ilegal. Kau berusaha mati-matian mendownload file yang terenkripsi. Kau habiskan uangmu dalam bentuk dollar untuk membeli aplikasi berbayar yang sangat mahal untuk mengotak-atik file yang terenkripsi itu. Kau berusaha untuk itu agar bisa pamer kemampuanmu kepada Mino Hyung yang jelas-jelas adalah seorang hacker pro. Kau ingin dia memandangmu..”
“Aku- tidak. Kau begitu mencintainya sejak tahun pertama di Cheongdam High School, kan?”
Seulmi hanya mampu mengangguk sebagai jawaban. Ia terlalu bisu hanya untuk sekedar mengatakan “Ya,”
“Tapi kau tidak pernah tahu.. akulah pemeran utama dalam tulisanmu yang sebenarnya. Akulah yang mencintai seseorang secara diam-diam. Akulah yang paling terluka karena tulisanmu kemarin. Akulah yang mencintaimu sejak dulu, sejak tahun kedua Junior High School. Kau tidak pernah tahu itu, Iseul. Tidak pernah..”
Seulmi mematung. Jantungnya derdetak lebih cepat dari biasanya. “Han-Hanbin, k-kau?” Seulmi terbata. Jika bisa memilih, ia ingin sekali berubah menjadi gantungan kunci bergambar anjing yang ada di tas Hanbin. Ternyata Hanbin belum menyimpan tasnya, Seulmi baru sadar akan hal itu.
Hanbin mengangguk, “Ya, Park Seulmi. Jika kau adalah pengagum rahasia Song Mino, maka aku adalah pengagum rahasiamu.”
Waktu seakan berhenti bergulir. Semua elemen di planet yang berbentuk lingkaran pepat ini seakan berhenti bergerak.
Seulmi tercekat. Tenggorokannya bahkan terasa kering. Ia seperti kekurangan oksigen untuk respirasi.
Sementara Hanbin masih sibuk mengatur dirinya agar tidak menangis. Ia tak boleh terlihat lemah di mata orang yang ia cintai.
Sampai pada akhirnya, bel masuk terdengar sampai ke atap sekolah. Meskipun menahan mati-matian agar tidak menangis, nyatanya air mata Hanbin tetap saja menggenang tertahan.
Hanbin menyeka asal air matanya yang menumpuk meminta dikeluarkan.
Hanbin bergerak dari tempatnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. Ia letakkan kertas itu ke telapak tangan Seulmi.
Seulmi sulit untuk merespon itu. Semua yang ada pada dirinya seakan membeku.
Hanbin tersenyum. Kemudian ia menyempatkan waktunya untuk membungkuk membetulkan tali sepatu Seulmi yang terlepas karena berjalan tergesa-gesa tadi. Hati Seulmi seperti baru saja bangun dari mimpi jatuh terperosok ke dalam jurang.
Hanbin berdiri, lalu berjalan membelakangi Seulmi. Sedikit demi sedikit ia menjauh. Sampai pada langkahnya entah yang ke berapa, ia berhenti namun tetap membelakangi Seulmi.
“Masuklah ke kelas. Kita ada ulangan Biologi.” ucapnya kemudian berlalu meninggalkan Seulmi yang masih mematung di sana.
Seulmi memandangi punggung Hanbin yang menjauh. Hingga pada langkah-langkah yang semakin menjauh, punggungnya hilang termakan pintu penghubung antara gedung utama dan atap sekolah.
***
Seulmi membuka kertas pemberian Hanbin dengan tangan gemetar. Ia perhatikan setiap inchi surat itu. Sisi-sisi bekas lipatannya sudah menguning. Itu berarti kertas itu sudah sangat lama tersimpan.
Ia tarik napas dalam-dalam sebelum membaca kertas yang entah apa isinya.
Debaran halus terasa begitu menyiksa.
Saturday, January 3, 2015
Aku adalah aku
Yang mencintaimu seperti mencintai bayang semu
Aku adalah aku
Yang berharap padamu seperti menanti siluet dalam gelap gulita
Aku adalah aku
Yang selalu distraksi antara bicara atau tetap bisu
Tapi, aku bukanlah aku
Yang ketika kau menceritakan tentangnya, aku tersenyum untuk menyemangatimu
Itu adalah aku yang aku ciptakan untukmu
Itu menyakitkan. Sungguh..
Seperti hari itu, ketika aku melihatmu yang menatap penuh arti terhadapnya
Kau memujanya seperti memuja dewa
Tidakkah kau berpikir usahaku-lah yang justru menikam diriku sendiri?
Menjadi pendengar yang baik,
Menjadi penyeka air matamu,
Menjadi sandaranmu saat kau lemah,
Menjadi seseorang yang rela memayungimu ketika hujan meskipun aku harus basah kuyup,
Aku seperti bunuh diri, kau tahu?
Lalu aku harus menyebut diriku ini apa? Baik atau bodoh? Atau malah.. menyedihkan?
Ah, benar. Aku menyedihkan. Sangat menyedihkan..
Orang ada berkata tentang jatuh cinta diam-diam
Dan ternyata benar. Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya mampu mengubur dalam-dalam sorot mata penuh kasihnya.
Tapi.., sampai kapan, Park Seulmi?
Bulir bening mengalir dari sudut mata Seulmi. Ia menangis. Membaca surat yang Hanbin tulis untuknya, yang ternyata dibuat sejak setahun yang lalu, membuat dadanya bagaikan ditusuk belati tajam. Sakit. Perih. Sesak.
Seperti Seulmi paham betul bagaimana rasanya menjadi Hanbin.
Ia tak bisa menahannya lagi, sampai isakkan terdengar jelas oleh alam yang menyaksikannya.
Bagaimana mungkin sahabatnya memendam sesuatu yang bahkan lebih berat dari bebannya sendiri? Dan bodohnya... ia sama sekali tidak pernah tahu.
Langit seakan berputar untuknya. Angin seperti sedang menertawakannya. Ingin sekali ia mengutuk dirinya sendiri saat ini.
Tetes demi tetes air mata melintasi pipinya yang seputih salju.
Mata indahnya ia tutup disertai hembusan napas terberatnya selama ia hidup.
Selama ini ia hanya menganggap Hanbin sebagai sahabat kecilnya tanpa tahu bagaimana sahabatnya itu menahan mati-matian agar rahasia hatinya tak terbongkar.
“Maaf...” gumamnya pelan terbawa angin.
Dan ternyata benar. Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya mampu mengubur dalam-dalam sorot mata penuh kasihnya.
THE END
Secret Admirer Part 1 (1 of 2)
PS: Jika ada kesamaan ide dalam cerita, saya berani bersumpah bahwa ini adalah karya saya sendiri. Jadi mungkin itu hanya kebetulan.
Hei pembaca yang baik.. hargailah karya penulis amatir ini dengan cara tidak memplagiat dan memberikan komentar yang membangun.
Terima kasih atas kunjungannya^^
With love,
Istifani M
apa yaa mau bilang apa :3
ReplyDeleteini part 2-2 serius? bukan part 2-3 atau 2-4 atau 2-10? ini kenapa ngegantung thoorr -___- macem tali beha -,- mana engga ketebak :3 dikirain suka Hanbin, ternyata suka mas dregen :3 tambah meleleh sama ff ini :3 pokonyaaaaa ini ff yang rekomendasi banget >< tap engga cocok sama orang yang kalapan :3 bisa bisa author diculik terus disekap sambil diancem dibacok kalo engga nerusin ini ff :3 *abaikan_-
Pokonya ini plus plus plus deh :3 saran sih ya thor, nanti ffnya ada scene kissnya :'v
Ohiya sebenernya mau dishare di fb tapi aku teh lagi ngilang dari fb sementara waktu, soalnya aku lagi jadi buronan, buronan.. hati :v
jadi kayanya sharenya pas aku on fb deh :'3 mianhae thor :'3
Selalu sehat buat author {} Makin semangat yaa nulisnya thor {}
titip salam buat member shinee :v
Salam Kenal~