Hi, Stranger!
Summary: “Karena daun yang terjatuh dari rantingnya pun memiliki alasan mengapa ia dijatuhkan.”
Story Begin..
Malam itu, di sebuah kota yang namanya tidak disebutkan, semilir angin menerbangkan daun yang telah berguguran. Membawanya mungkin sampai ke sudut kota.
Malam yang cukup indah, dengan bulan yang menggantung sempurna walaupun sebagian bintangnya bersembunyi entah di mana. Jangkrik-jangkrik saling bersahutan dengan deru mesin kendaraan membuat irama yang tak beraturan.
Muda-mudi masih melakukan aktivitasnya menandakan penduduk di sana masih terjaga.
Pukul 20.10
Terlihat siluet berperawakan tinggi mendudukkan tubuhnya di pinggiran sungai. Ia memeluk kakinya sendiri sambil sesekali membuang nafas kasar.
Mulai merubah posisinya, kini ia meluruskan kakinya. Tangannya mulai bergerak mengambil kerikil yang bisa ia lemparkan ke sungai.
“Huhhhh...,” asap mengepul dari mulutnya, menandakan udara di sana sangat dingin.
Memikirkan sesuatu yang membuat ia sesak, sesuatu yang sangat berat menurutnya. Seakan beban negara ia yang tanggung.
Bagaimana tidak? Hari ini ia melihat secara langsung kekasihnya berselingkuh.
Kenyataan yang sangat menyedihkan.
___
Masih di sekitar sungai yang sama, sosok lain yang bertubuh kurus berjalan menyusuri sungai. Ia mudah dikenali sebagai siswa Senior High School, karena seragam sekolah itu masih melekat di tubuhnya.
Merasa kakinya pegal, ia mulai duduk di sembarang tempat. Memandangi pemandangan sungai yang menurutnya sangat indah. Entahlah..., tak ada alasan kenapa ia ke sini. Kakinyalah yang membawa tubuhnya ke sini. Setidaknya itu adalah alasan yang akan ia berikan kepada ibunya karena pulang terlambat.
Ia menoleh ke kiri, ada seorang yang berperawakan tinggi di sana. Dari penampilannya, sosok itu sepertinya seorang mahasiswa.
Rambutnya tak tertata, bajunya dibiarkan kusut, dan masih banyak lagi sesuatu yang membuat orang lain berpikir bahwa orang itu begitu frustasi. Apa dia sebentar lagi akan bunuh diri?
Drrrtt.. Drrrtt..
Ponselnya bergetar. Kakaknya menelepon. Dengan malas, ia menggeser ponsel touch screennya itu.
“Ya. Ada apa?” ucapnya malas.
“Kau di mana? Kenapa belum pulang? Ibu sangat khawatir,” ucap kakaknya dengan nada cemas.
Alih-alih menjawab dengan jawaban yang tadi ia siapkan, ia malah berkata, “Aku sedang kerja kelompok.”
“Jangan berbohong! Katakan di mana? Jalan-jalan sendiri tidak jelas lagi?”
“Aku-” ia menghentikan ucapannya. Melihat ke kiri, ternyata sosok tinggi itu masih di sana.
Dan dengan bodohnya ia malah menjentikkan jarinya seperti telah menemukan jawaban saat ulangan Fisika.
Ia mendekat ke arah sosok itu masih dengan ponsel yang menempel di telinganya, lalu duduk di sampingnya tanpa izin.
Sosok tinggi itu menoleh.
“Yak!” pekik sosok tinggi.
“Sssssttt...”
“Kalau tidak percaya, bicara saja dengan temanku,” lanjutnya lagi pada kakaknya sambil melihat ke arah sosok tadi.
Lalu dengan lancangnya Ia mendekat untuk berbisik, “Tolong katakan pada kakakku bahwa aku sedang kerja kelompok. Bicaralah sebagai temanku.”
“A-apa?!” sosok tinggi terkejut sekaligus bingung dengan tingkah orang yang baru pertama kali ia jumpai ini.
Baru bertemu dan langsung menyuruhnya untuk berbohong? Setan dari neraka mana ia dikirimkan?
“Hei, Bung, kakakku ingin bicara denganmu.” ucapnya yang tanpa kakaknya tahu, ia sedang memohon sambil menampilkan wajah polosnya pada sosok di sampingnya itu. Tak mendapat jawaban, ia mengguncang bahu sosok tinggi tadi.
Lalu dengan terpaksa sosok tinggi itu mengambil ponselnya.
“I-iya?” ucapnya terbata.
“Apa kau teman adikku? Apa kalian sedang kerja kelompok?”
“Y-ya. Betul. Kami sedang kerja kelompok.” tukasnya masih dengan gugup yang kentara.
“Apa hanya berdua? Kalian sedang kerja kelompok atau berkencan, huh?!”
“A-apa? Berkencan?”
Si kurus memelototkan matanya. Tak menyangka kakaknya akan menanyakan hal bodoh seperti itu. Tepat ketika itu, sosok tinggi menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu dalam beberapa detik, sebelum salah satu dari mereka memutuskan kontak lalu membuang muka.
“Tidak. Kami sedang mengerjakan tugas Prakarya.” lanjutnya lagi setelah jeda cukup lama.
“Baiklah. Lagi pula aku hanya bercanda tadi. Aku percaya padamu. Antar adikku pulang setelah semua selesai.”
PIP.
---
Sosok tinggi melihat lawannya. ia perhatikan dari atas sampai bawah penampilannya. Merasa diperhatikan seperti itu, si kurus malah menatap polos ke arah sosok tinggi. Sosok tinggi berdecak sebelum buka suara.
“Kau siswa SHS? Kenapa belum pulang? Kenapa malah menyuruhku berbohong? Apa kau selalu membolos saat mata pelajaran Etika?” ucapnya sarkatis.
Si kurus mendongak, lalu tersenyum kecil, “Untuk apa aku ikut pelajaran tambahan seperti itu? Membosankan.” ucapnya santai sambil mengambil cola di dalam tasnya. “Aku hanya bawa 1 cola. Apa kau mau? Kita bisa minum bersama. Kalau kau mau.” lanjutnya lagi.
Sosok tinggi melirik sedikit. Tadinya ia akan memarahi anak itu, tapi melihat wajahnya yang polos membuatnya mengurungkan niatnya. Oh, apa tadi? Polos? Ia menarik kata-katanya saat ingat bahwa si kurus tadi dengan mudahnya berbohong pada kakaknya dan selalu membolos pelajaran bimbingan konseling. Ck, berandalan berwajah polos rupanya.
“Tidak.” ucap sosok tinggi singkat, “Kenapa kau belum pulang? Kau tahu, kau seperti setan kecil yang menyuruhku untuk mengatakan kebohongan.” lanjutnya sambil menatap datar.
“Kau mahasiswa, kan? Tentu kau juga pernah merasakan masa SHS. Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu itu. Omong-omong soal kebohongan, aku tetap harus berterima kasih padamu. Dan maafkan aku juga.” ucapnya tulus sambil menundukkan kepala. Ia mendongak kembali, “Apa yang dilakukan oleh mahasiswa di pinggir sungai malam hari?” tukasnya berseri, “Kita bisa bertukar cerita. karena kalau boleh jujur, kau terlihat sangat menyedihkan.” katanya lagi.
“Ck, sudahlah tidak apa-apa. Seperti yang kau katakan tadi, aku memang sangat menyedihkan.” ucapnya parau sambil menatap kosong pada hamparan sungai di depannya. Ia mengambil kerikil lagi dan melemparnya ke sungai. “Aku lebih tua darimu, dan kau tidak menggunakan bahasa formal? Oh, sungguh. Akan seperti apa masa depan negara ini jika generasi mudanya sepertimu?”
Si kurus tertawa terbahak, bahkan ia sedikit menumpahkan colanya. Lalu ia kembali meminum colanya sebelum menjawab, “Masa bodoh dengan hal itu. Apa yang aku lakukan bisa disebut dengan menikmati hidup. Kau kenapa? Patah hati?”
Sosok tinggi menatap wajah si kurus, namun kini tatapannya melunak, bahkan ia tersenyum kecil, “Lebih dari patah, kata apa yang paling pantas untuk kugunakan?" tukasnya.
“Masalah cinta rupanya.”
Sosok tinggi mendekat, lalu mengacak pelan rambut si kurus. Entahlah, ia hanya merasa mengobrol dengan si kurus sedikit mengobati rasa pilu di hatinya.
“Apa yang bocah tengik mengerti soal cinta, heum? Urus saja PR dari gurumu.” sosok tinggi tertawa mengejek. Padahal dalam hatinya ia bertanya-tanya kenapa ia bisa tertawa.
“Yak! Aku bukan bocah! Aku sudah dewasa!”
“Ya. Ya. Ya. Kau bukan bocah tapi kau berandalan,”
“Dan kau sangat menyedihkan..,”
“Tsk!”
Keduanya tertawa di malam yang dingin itu. Mereka terus bertukar cerita, sesekali sosok tinggi mengacak pelan kembali rambut si kurus, lalu si kurus menepisnya, dan mendorongnya, tapi berakhir dengan mereka yang tertawa bersama kembali.
Entah bagaimana awalnya, mereka terlihat sangat akrab sekarang.
Mungkin karena si kurus yang mudah untuk akrab dengan orang baru atau sosok tinggi yang terbuka menerima orang baru. Entahlah.
“Hahaha. Sudahlah! Hentikan cerita pilumu itu. Aku tidak bisa ikut sedih. Itu justru lucu.”
Sosok tinggi melihat ke arah si kurus. Wajahnya terlihat sangat jengkel ditertawakan seperti itu.
“Ya, sangat lucu. Melihat pacarku sendiri berpelukan dengan orang lain di depan umum. Itu sungguh lucu. Aku sampai tidak bisa tertawa.”
Si kurus tersenyum hangat, lalu menepuk bahu sosok tinggi, “Hei.., sudahlah. Kau akan menemukan yang lebih baik dari pada dia. Untuk apa menangisi seseorang yang tidak punya hati? Kau membuang-buang waktumu untuk mendapatkan yang lebih baik jika begitu.”
Sosok tinggi tersenyum kecil, “Hei.., lihat siapa yang bicara padaku tadi.” kemudian ia menatap penuh pada si kurus, “Ternyata kau bisa dewasa juga.” ucap sosok tinggi lagi-lagi sambil mengacak pelan rambut si kurus.
Kali ini si kurus menerima perlakuan sosok tinggi tanpa menepis atau mendorong. Ia tersenyum hangat, “Berhubung kau sedang patah hati, aku mengizinkanmu mengacak rambutku sepuasnya.”
___
Hari sudah semakin larut. Tak terasa sudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu bersama. Setelah sebelumnya mereka pergi ke kedai ramen terdekat di sana, mereka memutuskan untuk pulang dengan sosok tinggi yang mengantar si kurus.
Kini keduanya telah turun dari bus di halte ke 3 setelah sekitar 30 menit lebih di dalam bus. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kawasan elite di kota itu. Yang tak lain adalah kawasan tempat si kurus tinggal.
Si kurus memulai pembicaraan yang terhenti setelah turun dari bus. “Sudah kubilang, aku bisa pulang sendiri.”
Sosok tinggi menyunggingkan bibirnya, “Kakakmu menyuruhku mengantarmu pulang.”
“Kau bisa membiarkanku pulang sendiri, lalu aku akan mengatakan pada kakak bahwa kau sudah mengantarku dan harus segera pergi.” jawabnya sambil terus berjalan meninggalkan sosok tinggi. Setelah disadarinya sosok tinggi tak ada di sampingnya, ia langsung menoleh ke belakang.
Mendapati sosok tinggi tengah berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. Si kurus mengernyitkan dahi, “Kenapa berhenti?” tanyanya.
Sosok tinggi berdecak, lalu memutar bola matanya malas. “Apa hobimu itu adalah membohongi orang?!” katanya ketus.
Si kurus berjalan ke arah sosok tinggi. Lalu menarik tangannya, “Sudahlah. Kau, kan, sudah mengantarku. Rumahku sudah hampir sampai.”
Sosok tinggi hanya mengumpat tidak jelas.
“Sudah sampai. Ini rumahku. Terima kasih sudah mengantarku pulang.” ucapnya berseri.
Sosok tinggi memperhatikan wajah si kurus yang sedang tersenyum. Sinar bulan yang menerpa wajahnya membuat ia terlihat semakin mempesona. Senyum yang melengkung sempurna, membuat matanya terlihat ikut tersenyum seperti bulan sabit. Sosok tinggi terpaku, entah kenapa rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang melayang di perutnya.
“Kau.... cantik,” ucap sosok tinggi tanpa sadar.
“E-eh, maksudku.. eum, rumahmu cantik. Iya, begitu. Hehehe.” katanya canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Si kurus mengangkat satu alisnya, “Rumahku cantik? Bahkan dia bukan seorang wanita.” ia menatap lekat pada sosok tinggi, “Masuklah. Aku akan memperkenalkanmu pada kakakku.” lanjutnya lagi mengabaikan topik pembicaraan tentang... well, rumah cantik katanya.
“Tidak. Terima kasih. Aku harus segera pulang. Ibu pasti menungguku di rumah.”
Ada hening beberapa detik di antara mereka.
Si kurus kembali menatap lekat sosok tinggi, “Terima kasih untuk hari ini.” lalu ia membungkukkan badannya, “Apa kita bisa bertemu lagi?” katanya setelah selesai membungkuk.
Sosok tinggi tersenyum hangat, lalu mengacak pelan rambut si kurus “Itu juga yang aku pertanyakan pada waktu. Apa kita akan bertemu lagi? Tapi aku yakin, kita akan bertemu di waktu yang tepat. Masuklah. Ini sudah malam.”
Si kurus hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu ia membungkukkan badannya sekali lagi, sosok tinggi hanya mengangguk. Kemudian ia membuka gerbang rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah tanpa harus mengetuk pintu. Sosok tinggi memperhatikan sampai punggung si kurus tak terlihat lagi.
Ia berbalik untuk pulang. Saat langkahnya yang entah ke berapa, ia berbalik lagi lalu berlari menuju rumah itu lagi.
Ia menunduk, “Hei.., aku belum tahu siapa namamu,” ucapnya pelan bahkan seperti berbisik kepada angin. “Kenapa aku bodoh sekali? Hal sepenting itu kulupakan,”
Ia mendongak, menatap ruangan di lantai 2 rumah itu. Lampunya yang semula masih terang, kini menjadi redup. Dapat dipastikan itu adalah kamar si kurus.
Ia tersenyum kecil, “Selamat tidur. Namaku...”
***
Seperti yang pernah seseorang katakan, setiap pertemuan pasti memiliki alasan kenapa kita dipertemukan.
Dan ada saatnya kita bersama orang-orang baru, karena hidup ini berputar dan bergerak maju.
Dari orang asing menjadi teman, dari teman menjadi yang lain, dan dari yang lain menjadi yang lainnya lagi. Kita tak pernah tahu kedepannya akan seperti apa.
Karena daun yang terjatuh dari rantingnya pun memiliki alasan mengapa ia dijatuhkan.
Lalu, apa alasan kita dipertemukan?
The End
Story Begin..
Malam itu, di sebuah kota yang namanya tidak disebutkan, semilir angin menerbangkan daun yang telah berguguran. Membawanya mungkin sampai ke sudut kota.
Malam yang cukup indah, dengan bulan yang menggantung sempurna walaupun sebagian bintangnya bersembunyi entah di mana. Jangkrik-jangkrik saling bersahutan dengan deru mesin kendaraan membuat irama yang tak beraturan.
Muda-mudi masih melakukan aktivitasnya menandakan penduduk di sana masih terjaga.
Pukul 20.10
Terlihat siluet berperawakan tinggi mendudukkan tubuhnya di pinggiran sungai. Ia memeluk kakinya sendiri sambil sesekali membuang nafas kasar.
Mulai merubah posisinya, kini ia meluruskan kakinya. Tangannya mulai bergerak mengambil kerikil yang bisa ia lemparkan ke sungai.
“Huhhhh...,” asap mengepul dari mulutnya, menandakan udara di sana sangat dingin.
Memikirkan sesuatu yang membuat ia sesak, sesuatu yang sangat berat menurutnya. Seakan beban negara ia yang tanggung.
Bagaimana tidak? Hari ini ia melihat secara langsung kekasihnya berselingkuh.
Kenyataan yang sangat menyedihkan.
___
Masih di sekitar sungai yang sama, sosok lain yang bertubuh kurus berjalan menyusuri sungai. Ia mudah dikenali sebagai siswa Senior High School, karena seragam sekolah itu masih melekat di tubuhnya.
Merasa kakinya pegal, ia mulai duduk di sembarang tempat. Memandangi pemandangan sungai yang menurutnya sangat indah. Entahlah..., tak ada alasan kenapa ia ke sini. Kakinyalah yang membawa tubuhnya ke sini. Setidaknya itu adalah alasan yang akan ia berikan kepada ibunya karena pulang terlambat.
Ia menoleh ke kiri, ada seorang yang berperawakan tinggi di sana. Dari penampilannya, sosok itu sepertinya seorang mahasiswa.
Rambutnya tak tertata, bajunya dibiarkan kusut, dan masih banyak lagi sesuatu yang membuat orang lain berpikir bahwa orang itu begitu frustasi. Apa dia sebentar lagi akan bunuh diri?
Drrrtt.. Drrrtt..
Ponselnya bergetar. Kakaknya menelepon. Dengan malas, ia menggeser ponsel touch screennya itu.
“Ya. Ada apa?” ucapnya malas.
“Kau di mana? Kenapa belum pulang? Ibu sangat khawatir,” ucap kakaknya dengan nada cemas.
Alih-alih menjawab dengan jawaban yang tadi ia siapkan, ia malah berkata, “Aku sedang kerja kelompok.”
“Jangan berbohong! Katakan di mana? Jalan-jalan sendiri tidak jelas lagi?”
“Aku-” ia menghentikan ucapannya. Melihat ke kiri, ternyata sosok tinggi itu masih di sana.
Dan dengan bodohnya ia malah menjentikkan jarinya seperti telah menemukan jawaban saat ulangan Fisika.
Ia mendekat ke arah sosok itu masih dengan ponsel yang menempel di telinganya, lalu duduk di sampingnya tanpa izin.
Sosok tinggi itu menoleh.
“Yak!” pekik sosok tinggi.
“Sssssttt...”
“Kalau tidak percaya, bicara saja dengan temanku,” lanjutnya lagi pada kakaknya sambil melihat ke arah sosok tadi.
Lalu dengan lancangnya Ia mendekat untuk berbisik, “Tolong katakan pada kakakku bahwa aku sedang kerja kelompok. Bicaralah sebagai temanku.”
“A-apa?!” sosok tinggi terkejut sekaligus bingung dengan tingkah orang yang baru pertama kali ia jumpai ini.
Baru bertemu dan langsung menyuruhnya untuk berbohong? Setan dari neraka mana ia dikirimkan?
“Hei, Bung, kakakku ingin bicara denganmu.” ucapnya yang tanpa kakaknya tahu, ia sedang memohon sambil menampilkan wajah polosnya pada sosok di sampingnya itu. Tak mendapat jawaban, ia mengguncang bahu sosok tinggi tadi.
Lalu dengan terpaksa sosok tinggi itu mengambil ponselnya.
“I-iya?” ucapnya terbata.
“Apa kau teman adikku? Apa kalian sedang kerja kelompok?”
“Y-ya. Betul. Kami sedang kerja kelompok.” tukasnya masih dengan gugup yang kentara.
“Apa hanya berdua? Kalian sedang kerja kelompok atau berkencan, huh?!”
“A-apa? Berkencan?”
Si kurus memelototkan matanya. Tak menyangka kakaknya akan menanyakan hal bodoh seperti itu. Tepat ketika itu, sosok tinggi menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu dalam beberapa detik, sebelum salah satu dari mereka memutuskan kontak lalu membuang muka.
“Tidak. Kami sedang mengerjakan tugas Prakarya.” lanjutnya lagi setelah jeda cukup lama.
“Baiklah. Lagi pula aku hanya bercanda tadi. Aku percaya padamu. Antar adikku pulang setelah semua selesai.”
PIP.
---
Sosok tinggi melihat lawannya. ia perhatikan dari atas sampai bawah penampilannya. Merasa diperhatikan seperti itu, si kurus malah menatap polos ke arah sosok tinggi. Sosok tinggi berdecak sebelum buka suara.
“Kau siswa SHS? Kenapa belum pulang? Kenapa malah menyuruhku berbohong? Apa kau selalu membolos saat mata pelajaran Etika?” ucapnya sarkatis.
Si kurus mendongak, lalu tersenyum kecil, “Untuk apa aku ikut pelajaran tambahan seperti itu? Membosankan.” ucapnya santai sambil mengambil cola di dalam tasnya. “Aku hanya bawa 1 cola. Apa kau mau? Kita bisa minum bersama. Kalau kau mau.” lanjutnya lagi.
Sosok tinggi melirik sedikit. Tadinya ia akan memarahi anak itu, tapi melihat wajahnya yang polos membuatnya mengurungkan niatnya. Oh, apa tadi? Polos? Ia menarik kata-katanya saat ingat bahwa si kurus tadi dengan mudahnya berbohong pada kakaknya dan selalu membolos pelajaran bimbingan konseling. Ck, berandalan berwajah polos rupanya.
“Tidak.” ucap sosok tinggi singkat, “Kenapa kau belum pulang? Kau tahu, kau seperti setan kecil yang menyuruhku untuk mengatakan kebohongan.” lanjutnya sambil menatap datar.
“Kau mahasiswa, kan? Tentu kau juga pernah merasakan masa SHS. Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu itu. Omong-omong soal kebohongan, aku tetap harus berterima kasih padamu. Dan maafkan aku juga.” ucapnya tulus sambil menundukkan kepala. Ia mendongak kembali, “Apa yang dilakukan oleh mahasiswa di pinggir sungai malam hari?” tukasnya berseri, “Kita bisa bertukar cerita. karena kalau boleh jujur, kau terlihat sangat menyedihkan.” katanya lagi.
“Ck, sudahlah tidak apa-apa. Seperti yang kau katakan tadi, aku memang sangat menyedihkan.” ucapnya parau sambil menatap kosong pada hamparan sungai di depannya. Ia mengambil kerikil lagi dan melemparnya ke sungai. “Aku lebih tua darimu, dan kau tidak menggunakan bahasa formal? Oh, sungguh. Akan seperti apa masa depan negara ini jika generasi mudanya sepertimu?”
Si kurus tertawa terbahak, bahkan ia sedikit menumpahkan colanya. Lalu ia kembali meminum colanya sebelum menjawab, “Masa bodoh dengan hal itu. Apa yang aku lakukan bisa disebut dengan menikmati hidup. Kau kenapa? Patah hati?”
Sosok tinggi menatap wajah si kurus, namun kini tatapannya melunak, bahkan ia tersenyum kecil, “Lebih dari patah, kata apa yang paling pantas untuk kugunakan?" tukasnya.
“Masalah cinta rupanya.”
Sosok tinggi mendekat, lalu mengacak pelan rambut si kurus. Entahlah, ia hanya merasa mengobrol dengan si kurus sedikit mengobati rasa pilu di hatinya.
“Apa yang bocah tengik mengerti soal cinta, heum? Urus saja PR dari gurumu.” sosok tinggi tertawa mengejek. Padahal dalam hatinya ia bertanya-tanya kenapa ia bisa tertawa.
“Yak! Aku bukan bocah! Aku sudah dewasa!”
“Ya. Ya. Ya. Kau bukan bocah tapi kau berandalan,”
“Dan kau sangat menyedihkan..,”
“Tsk!”
Keduanya tertawa di malam yang dingin itu. Mereka terus bertukar cerita, sesekali sosok tinggi mengacak pelan kembali rambut si kurus, lalu si kurus menepisnya, dan mendorongnya, tapi berakhir dengan mereka yang tertawa bersama kembali.
Entah bagaimana awalnya, mereka terlihat sangat akrab sekarang.
Mungkin karena si kurus yang mudah untuk akrab dengan orang baru atau sosok tinggi yang terbuka menerima orang baru. Entahlah.
“Hahaha. Sudahlah! Hentikan cerita pilumu itu. Aku tidak bisa ikut sedih. Itu justru lucu.”
Sosok tinggi melihat ke arah si kurus. Wajahnya terlihat sangat jengkel ditertawakan seperti itu.
“Ya, sangat lucu. Melihat pacarku sendiri berpelukan dengan orang lain di depan umum. Itu sungguh lucu. Aku sampai tidak bisa tertawa.”
Si kurus tersenyum hangat, lalu menepuk bahu sosok tinggi, “Hei.., sudahlah. Kau akan menemukan yang lebih baik dari pada dia. Untuk apa menangisi seseorang yang tidak punya hati? Kau membuang-buang waktumu untuk mendapatkan yang lebih baik jika begitu.”
Sosok tinggi tersenyum kecil, “Hei.., lihat siapa yang bicara padaku tadi.” kemudian ia menatap penuh pada si kurus, “Ternyata kau bisa dewasa juga.” ucap sosok tinggi lagi-lagi sambil mengacak pelan rambut si kurus.
Kali ini si kurus menerima perlakuan sosok tinggi tanpa menepis atau mendorong. Ia tersenyum hangat, “Berhubung kau sedang patah hati, aku mengizinkanmu mengacak rambutku sepuasnya.”
___
Hari sudah semakin larut. Tak terasa sudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu bersama. Setelah sebelumnya mereka pergi ke kedai ramen terdekat di sana, mereka memutuskan untuk pulang dengan sosok tinggi yang mengantar si kurus.
Kini keduanya telah turun dari bus di halte ke 3 setelah sekitar 30 menit lebih di dalam bus. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kawasan elite di kota itu. Yang tak lain adalah kawasan tempat si kurus tinggal.
Si kurus memulai pembicaraan yang terhenti setelah turun dari bus. “Sudah kubilang, aku bisa pulang sendiri.”
Sosok tinggi menyunggingkan bibirnya, “Kakakmu menyuruhku mengantarmu pulang.”
“Kau bisa membiarkanku pulang sendiri, lalu aku akan mengatakan pada kakak bahwa kau sudah mengantarku dan harus segera pergi.” jawabnya sambil terus berjalan meninggalkan sosok tinggi. Setelah disadarinya sosok tinggi tak ada di sampingnya, ia langsung menoleh ke belakang.
Mendapati sosok tinggi tengah berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. Si kurus mengernyitkan dahi, “Kenapa berhenti?” tanyanya.
Sosok tinggi berdecak, lalu memutar bola matanya malas. “Apa hobimu itu adalah membohongi orang?!” katanya ketus.
Si kurus berjalan ke arah sosok tinggi. Lalu menarik tangannya, “Sudahlah. Kau, kan, sudah mengantarku. Rumahku sudah hampir sampai.”
Sosok tinggi hanya mengumpat tidak jelas.
“Sudah sampai. Ini rumahku. Terima kasih sudah mengantarku pulang.” ucapnya berseri.
Sosok tinggi memperhatikan wajah si kurus yang sedang tersenyum. Sinar bulan yang menerpa wajahnya membuat ia terlihat semakin mempesona. Senyum yang melengkung sempurna, membuat matanya terlihat ikut tersenyum seperti bulan sabit. Sosok tinggi terpaku, entah kenapa rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang melayang di perutnya.
“Kau.... cantik,” ucap sosok tinggi tanpa sadar.
“E-eh, maksudku.. eum, rumahmu cantik. Iya, begitu. Hehehe.” katanya canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Si kurus mengangkat satu alisnya, “Rumahku cantik? Bahkan dia bukan seorang wanita.” ia menatap lekat pada sosok tinggi, “Masuklah. Aku akan memperkenalkanmu pada kakakku.” lanjutnya lagi mengabaikan topik pembicaraan tentang... well, rumah cantik katanya.
“Tidak. Terima kasih. Aku harus segera pulang. Ibu pasti menungguku di rumah.”
Ada hening beberapa detik di antara mereka.
Si kurus kembali menatap lekat sosok tinggi, “Terima kasih untuk hari ini.” lalu ia membungkukkan badannya, “Apa kita bisa bertemu lagi?” katanya setelah selesai membungkuk.
Sosok tinggi tersenyum hangat, lalu mengacak pelan rambut si kurus “Itu juga yang aku pertanyakan pada waktu. Apa kita akan bertemu lagi? Tapi aku yakin, kita akan bertemu di waktu yang tepat. Masuklah. Ini sudah malam.”
Si kurus hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu ia membungkukkan badannya sekali lagi, sosok tinggi hanya mengangguk. Kemudian ia membuka gerbang rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah tanpa harus mengetuk pintu. Sosok tinggi memperhatikan sampai punggung si kurus tak terlihat lagi.
Ia berbalik untuk pulang. Saat langkahnya yang entah ke berapa, ia berbalik lagi lalu berlari menuju rumah itu lagi.
Ia menunduk, “Hei.., aku belum tahu siapa namamu,” ucapnya pelan bahkan seperti berbisik kepada angin. “Kenapa aku bodoh sekali? Hal sepenting itu kulupakan,”
Ia mendongak, menatap ruangan di lantai 2 rumah itu. Lampunya yang semula masih terang, kini menjadi redup. Dapat dipastikan itu adalah kamar si kurus.
Ia tersenyum kecil, “Selamat tidur. Namaku...”
***
Seperti yang pernah seseorang katakan, setiap pertemuan pasti memiliki alasan kenapa kita dipertemukan.
Dan ada saatnya kita bersama orang-orang baru, karena hidup ini berputar dan bergerak maju.
Dari orang asing menjadi teman, dari teman menjadi yang lain, dan dari yang lain menjadi yang lainnya lagi. Kita tak pernah tahu kedepannya akan seperti apa.
Karena daun yang terjatuh dari rantingnya pun memiliki alasan mengapa ia dijatuhkan.
Lalu, apa alasan kita dipertemukan?
The End
Comments
Post a Comment