CERPEN | ICE CREAM
Malam itu, semilir angin menerbangkan daun yang telah berguguran mungkin sampai ke sudut kota. Langit yang -cukup untuk dikatakan- indah, dengan bulan yang menggantung sempurna walaupun sebagian bintangnya bersembunyi entah di mana. Deru mesin kendaraan saling bersahutan merdu dengan jangkrik yang sedang bernyanyi dan derap langkah beberapa orang. Rupanya, penduduk di sana masih terjaga.
Terlihat siluet gadis bertubuh tinggi berjalan dengan gadis lain yang -cukup untuk dikatakan tinggi- sambil tertawa bersama. Panggil mereka Nana dan Choco. Ya, nama yang bagus namun cukup aneh sebenarnya.
Mulai merasa lelah, keduanya duduk di bangku taman. Seharusnya mereka langsung pulang setelah les piano. Namun permintaan Nana untuk membeli es krim menahan sejenak kepulangan mereka.
Choco menggerutu, “Kau itu aneh sekali. Cuacanya sangat dingin tapi malah mengajakku makan es krim. Harusnya kita membeli cokelat panas di kedai itu.” eluhnya sambil menunjuk kedai di seberang.
Belum sempat Nana menjawab, seorang gadis yang -cukup untuk dikatakan kurang tinggi- menghampiri keduanya dengan tergesa-gesa.
Keningnya berpeluh, ia bahkan meletakkan kedua tangannya di lutut, “Yaa Tuhan.. Yaa Tuhan.. Ibuku akan menelepon lagi. Boleh aku minta bantuan kalian?” Nana mengernyitkan dahi, “Siapa namamu? Tenanglah dulu.. Ini, minumlah,” katanya sambil menyodorkan air mineral.
Gadis itu mengambilnya dengan canggung. Ia pandangi Nana dan Choco, lalu keduanya mengangguk. Gadis itu ikut mengangguk dan segera meneguk air mineralnya sebagian.
Setelah selesai minum, mereka memperkenalkan diri masing-masing. Setelahnya, gadis yang ternyata bernama Vanilla itu menjelaskan duduk perkaranya. Ia ingin membeli kado untuk ulang tahun ibunya. Tapi ia berbohong, mengatakan pada ibunya bahwa ia sedang kerja kelompok setelah pulang pelajaran tambahan. Vanilla meminta bantuan, menjelaskan rencananya pada Nana dan Choco, yang langsung mengangguk antusias untuk membantu. Saatnya menjadi pahlawan untuk anak-anak baik yang sedang kesulitan. Batin Nana.
Ponsel Vanilla bergetar, menampilkan 1 panggilan dari ibunya. Ia langsung memberikan ponselnya pada Choco.
“Halo, Bi. Maaf saya lancang mengangkat telepon dari Bibi. Tapi, Vanilla sedang ke toilet sebentar. Kami sedang kerja kelompok untuk tugas Prakarya. Apa Anda ingin menitip pesan?”
“Eum, tak apa. Aku hanya khawatir. Sebaiknya kalian jangan pulang terlalu larut, ya.” suara perempuan khas keibuan terdengar.
Choco mengangguk seakan sedang mengobrol langsung. “Baiklah, Bi. Kami akan segera pulang.”
“Terima kasih, Nak. Aku akan menutup teleponnya.”
PIP
___
Beberapa menit setelahnya, entah bagaimana awalnya, mereka menjadi sangat akrab sampai bertukar nomor ponsel.
Vanilla berdeham, “Kudengar, tadi kalian membicarakan es krim. Apa aku benar?” tanyanya.
Nana mengangguk dengan semangat. Mungkin, jika ia mengangguk lebih lama lagi, ia bisa terbang ke luar angkasa. “Ya! Aku ingin es krim pisang!” ucapnya menggebu. Vanilla mengangguk dengan tulus, “Baiklah, aku akan belikan sebagai bentuk terima kasih pada kalian. Dan aku harap, kalian bisa datang ke rumahku lusa untuk merayakan hari ulang tahun Ibu.”
Mereka bertiga berjalan beriringan sambil mengobrol, sesekali tertawa bersama. Seseorang pernah berkata, setiap pertemuan pasti memiliki alasan mengapa kita dipertemukan.
Seperti malam ini, ketiganya tak pernah tahu, mereka melewati garis dari orang asing menjadi teman yang akan siap berbagi.
Skenario Tuhan memang sangat indah, tapi kita tak tahu akan seperti apa kelanjutannya. Akankah from stranger to someone, atau from someone to stranger. Iya, kita tak akan pernah tahu. Karena dunia benar-benar berputar selama detik jarum jam masih berputar pula.
Senyuman bulan sabit pun mengawali kemudian mengakhiri pertemuan mereka malam ini. Dengan tangan yang menggenggam erat es krim rasa... cokelat, vanilla, dan pisang.
The End
PS: Cerpen ini kutulis untuk menggambarkan betapa bahagianya aku bertemu dengan dua orang yang kusebut sebagai Choco dan Vanilla pada cerita di atas.
Noona love ya♡
Terlihat siluet gadis bertubuh tinggi berjalan dengan gadis lain yang -cukup untuk dikatakan tinggi- sambil tertawa bersama. Panggil mereka Nana dan Choco. Ya, nama yang bagus namun cukup aneh sebenarnya.
Mulai merasa lelah, keduanya duduk di bangku taman. Seharusnya mereka langsung pulang setelah les piano. Namun permintaan Nana untuk membeli es krim menahan sejenak kepulangan mereka.
Choco menggerutu, “Kau itu aneh sekali. Cuacanya sangat dingin tapi malah mengajakku makan es krim. Harusnya kita membeli cokelat panas di kedai itu.” eluhnya sambil menunjuk kedai di seberang.
Belum sempat Nana menjawab, seorang gadis yang -cukup untuk dikatakan kurang tinggi- menghampiri keduanya dengan tergesa-gesa.
Keningnya berpeluh, ia bahkan meletakkan kedua tangannya di lutut, “Yaa Tuhan.. Yaa Tuhan.. Ibuku akan menelepon lagi. Boleh aku minta bantuan kalian?” Nana mengernyitkan dahi, “Siapa namamu? Tenanglah dulu.. Ini, minumlah,” katanya sambil menyodorkan air mineral.
Gadis itu mengambilnya dengan canggung. Ia pandangi Nana dan Choco, lalu keduanya mengangguk. Gadis itu ikut mengangguk dan segera meneguk air mineralnya sebagian.
Setelah selesai minum, mereka memperkenalkan diri masing-masing. Setelahnya, gadis yang ternyata bernama Vanilla itu menjelaskan duduk perkaranya. Ia ingin membeli kado untuk ulang tahun ibunya. Tapi ia berbohong, mengatakan pada ibunya bahwa ia sedang kerja kelompok setelah pulang pelajaran tambahan. Vanilla meminta bantuan, menjelaskan rencananya pada Nana dan Choco, yang langsung mengangguk antusias untuk membantu. Saatnya menjadi pahlawan untuk anak-anak baik yang sedang kesulitan. Batin Nana.
Ponsel Vanilla bergetar, menampilkan 1 panggilan dari ibunya. Ia langsung memberikan ponselnya pada Choco.
“Halo, Bi. Maaf saya lancang mengangkat telepon dari Bibi. Tapi, Vanilla sedang ke toilet sebentar. Kami sedang kerja kelompok untuk tugas Prakarya. Apa Anda ingin menitip pesan?”
“Eum, tak apa. Aku hanya khawatir. Sebaiknya kalian jangan pulang terlalu larut, ya.” suara perempuan khas keibuan terdengar.
Choco mengangguk seakan sedang mengobrol langsung. “Baiklah, Bi. Kami akan segera pulang.”
“Terima kasih, Nak. Aku akan menutup teleponnya.”
PIP
___
Beberapa menit setelahnya, entah bagaimana awalnya, mereka menjadi sangat akrab sampai bertukar nomor ponsel.
Vanilla berdeham, “Kudengar, tadi kalian membicarakan es krim. Apa aku benar?” tanyanya.
Nana mengangguk dengan semangat. Mungkin, jika ia mengangguk lebih lama lagi, ia bisa terbang ke luar angkasa. “Ya! Aku ingin es krim pisang!” ucapnya menggebu. Vanilla mengangguk dengan tulus, “Baiklah, aku akan belikan sebagai bentuk terima kasih pada kalian. Dan aku harap, kalian bisa datang ke rumahku lusa untuk merayakan hari ulang tahun Ibu.”
Mereka bertiga berjalan beriringan sambil mengobrol, sesekali tertawa bersama. Seseorang pernah berkata, setiap pertemuan pasti memiliki alasan mengapa kita dipertemukan.
Seperti malam ini, ketiganya tak pernah tahu, mereka melewati garis dari orang asing menjadi teman yang akan siap berbagi.
Skenario Tuhan memang sangat indah, tapi kita tak tahu akan seperti apa kelanjutannya. Akankah from stranger to someone, atau from someone to stranger. Iya, kita tak akan pernah tahu. Karena dunia benar-benar berputar selama detik jarum jam masih berputar pula.
Senyuman bulan sabit pun mengawali kemudian mengakhiri pertemuan mereka malam ini. Dengan tangan yang menggenggam erat es krim rasa... cokelat, vanilla, dan pisang.
The End
PS: Cerpen ini kutulis untuk menggambarkan betapa bahagianya aku bertemu dengan dua orang yang kusebut sebagai Choco dan Vanilla pada cerita di atas.
Noona love ya♡
Comments
Post a Comment