Sesuatu di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta

26 Februari 2016, adalah hari pertama kunjungan wisata dalam rangka study tour sekolah gue ke Daerah Istimewa Yogyakarta.
Monumen Jogja Kembali (Monjali), menjadi pilihan yang tepat sebagai kunjungan pertama karena otak kami masih fresh di pagi hari untuk belajar sejarah. Tapi ternyata salah, satu hal, pukul 10 pagi di sana seperti pukul 1 atau 2 siang di Pandeglang, Banten. Panas, Cuy!



Kami lanjut ke Kraton. Cuaca di sana semakin terik karena sudah pukul 11 siang. Peluh di mana-mana, terlebih lagi kami semua harus jalan lumayan jauh karena bus tidak dibolehkan masuk, yang menyebabkan gue gak fokus mendengarkan keterangan pemandu tentang tempat bersejarah itu ketika sudah sampai di sana.



“Eh, ada bule. Cepet ajak ngomong, Bi! Ayo cepet!” kata temen-temen gue setelah keluar dari Kraton sambil narik-narik Abi; temen kelas gue yang fasih berbahasa Inggris.
Bulenya ada dua orang, mereka senyum sambil mengernyitkan dahi. Well, semenit selanjutnya mereka langsung kabur. Iya, gue tahu muka kami memang seram. Jelas. Kami semua dari Banten. Apa lo?



Kami lanjut melihat-lihat pedagang yang tak jauh dari Kraton. Ada yang menjual souvenir, makanan-minuman, topi, dan bahkan baju. Gue memisahkan diri ke tempat yang teduh lalu memutuskan untuk membeli es kelapa. Haus! Cuacanya gile! Tergoda sama gue, Lulu, Dinda, dan Aat akhirnya membeli es kelapa juga.



Karena 26 Februari bertepatan pada hari Jumat, selesai dari Kraton, siswa laki-laki sekolah kami langsung salat Jumat di Masjid Gedhe Kauman yang terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta.



Sedangkan siswi perempuannya masih berseliweran di dekat Kraton. Gue, Aat, Dinda dan Lulu bergegas untuk ganti baju di toilet yang ada di pinggir Kraton. Di sana, hampir saja HP gue ketinggalan kalau saja gak ada mbak-mbak yang ngingetin. Gue memang kampret dari lahir.



Pakaian sudah rapi, gue sudah ambil wudhu (iya, temen-temen gak ambil wudhu di sana), kami bergegas menuju masjid yang sama ketika jamaah laki-laki sudah selesai melaksanakan kewajibannya untuk salat Jumat.



Di sanalah kami, berlari-lari kecil di lapangan alun-alun menuju Masjid Gedhe Kauman. Gue ngerasa lagi di padang pasir. Matahari tepat berada di atas kepala dan jarak masjidnya yang lumayan jauh. Pulang ke Pandeglang, gue yakin gue makin bersinar. Bersinar itemnya. Iye, itemnye. Fyuh!



Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H, dengan desain arsitekturnya yang berbentuk Tajug lambang teplok.



Sesampainya di sana, kami tepat berada di depan masjid itu. Termenung sejenak memperhatikan desain arsitektur tampak depan Masjid Gedhe Kauman. Hati gue langsung terbawa suasana. “Adem!” Seru gue dalam hati.
Kami pun bergegas masuk lewat gerbang sebelah kiri.



Karena gue sudah ambil wudhu, gue masuk sendirian dan langsung salat. Gue selesai lebih awal. Alhasil, gue duduk di belakang nunggu temen-temen selesai.



Ada ibu-ibu di sebelah gue, badannya yang agak gempal beliau sandarkan ke tiang masjid. Beliau membaca shalawat dengan pelan. Gue perhatikan, ketika ada yang lewat, beliau akan langsung menyapanya dengan ramah. Pasti pribumi. Pikir gue.



“Dari mana, Mbak?” tanya ibu itu ke gue. Gue dipanggi 'Mbak' berasa jadi tukang jamu. Hm.


“Dari Pandeglang, Banten, Bu.” jawab gue.


“Oh, Banten. Pak Rano Karno, ya?” katanya masih dengan aksen Jawa yang kental.


“I-iya, Pak Rano Karno.” jawab gue yang bingung dengan pertanyaannya.


“Jadi apa dia sekarang? Keluargaku kenal sama dia.”


“Awalnya wakil gubernur, Bu. Tapi sekarang sudah diangkat jadi gubernur.”



Banyak hal yang kami obrolkan. Gue cerita tentang rombongan study tour dari Pandeglang, beliau juga cerita tentang anak perempuannya yang akan menyelesaikan S2 di Semarang, anak laki-lakinya yang sudah berkeluarga dan kerabatnya yang pernah ditugaskan di Banten.



“Rumah Ibu dekat sini?”


“Ah, enggak. Rumah saya jauh dari sini. Saya bukan penduduk asli sini, rumah saya dekat Candi Prambanan.”


“Habis dari Kraton ya, Bu?”


“Bukan, Mbak. Saya memang setiap hari Jumat selalu ke sini. Ya lumayan jauh, sih. Saya naik bus, berangkat jam 11 biasanya.”


“Setiap hari Jumat?” ulang gue, sedikit gak percaya ada ibu-ibu yang rutin mengunjungi masjid ini setiap Jumat. “Kenapa, Bu?” tanya gue penasaran.


“Iya, setiap Jumat. Gak tahu, saya tuh kalau salat di sini adem, pulang juga hati tenang. Saya berdoa di sini biar tenang, Mbak.”


“Masjid ini bersejarah?” tanya gue lagi yang memang gak tahu apa-apa tentang masjid itu.


“Iya, Mbak. Konon Ahmad Dahlan ngajar murid-muridnya di sini. Tuh, di ruangan sebelah kiri, belajar tentang Muhammadiyah.” katanya sambil menunjuk ke kiri. Gue cuman ngangguk-ngangguk sok paham. Karena kenyataannya gue gak tahu Ahmad Dahlan itu siapa. Yang gue tahu cuma Pak Dahlan Iskan, atau suami guru ngaji gue waktu kecil dengan nama yang sama.
Ternyata setelah gue googling, Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh besar. Beliau pendiri Muhammadiyah dan juga Pahlawan Nasional Indonesia. Maafkan saya, Pak.


“Maaf, Ibu Muhammadiyah?” tanya gue hati-hati. Takut-takut menyinggung perasaan.


“Bukan. Saya bukan Islam NU atau Muhammadiyah. Saya Islam netral. Saya baru belajar Islam lebih dalam, Mbak. Saya ini mualaf tapi bukan mualaf.”



Gue mengernyitkan dahi, “Eh, maksud Ibu?”



“Saya Islam dari lahir, tapi saya menikah dengan orang Kristen. Maaf ya, Mbak, jangan ditiru. Dulu saya jarang melaksanakan wajib dan sunnah dalam Islam. Sampai saya dapat hidayah, saya cerai sama suami. Saya baru rajin ibadah. Saya ngerasa jadi mualaf tapi bukan mualaf.”


Gue bingung harus ngerespon gimana. Akhirnya gue beranikan untuk tanya, “Terus anak Ibu?”


“Anak saya ikut bapaknya. Bapaknya keras, dia seorang tentara. Anak saya gak berani ngelawan. Jadi anak saya bukan.”


“Saya berdoa setiap hari. Bahkan khusus di hari Jumat berdoa di sini. Saya mau anak-anak saya masuk Islam. Saya sebagai manusia hanya bisa berdoa dan berusaha, selebihnya saya serahkan kepada Allah. Semoga anak saya mendapat hidayah.” katanya melanjutkan



Gue mengangguk mengamini. Terharu melihat perjuangan ibu ini. Saat itu, gue berharap bisa menjadi pendengar yang baik untuk beliau.



“Saya berjuang, Mbak. Dulu saya sering disiksa dan dulu belum ada undang-undang KDRT. Suami saya keras, saya cuma punya 2 anak. Yang pertama laki-laki sudah berkeluarga dan kedua perempuan masih kuliah pascasarjana. Yang perempuan dulu sempat mau masuk Islam, tapi gak boleh sama kakaknya.”


“Tapi Ibu tetap komunikasi sama mereka sampai sekarang?”


“Iya, anak saya kalau pulang selalu ke rumah saya. Baru kemarin yang perempuan pulang lagi ke Semarang. Minta didoakan lulus S2.”



Beliau memberi jeda kalimatnya.



“Senang ya, lihat anak-anak muda seperti kalian rajin salat.” katanya dengan tatapan sendu. Di matanya tergambar jelas seperti ada sesuatu yang beliau sesalkan di masa lalu.




Gue tersenyum tipis.



“Eh, iya. Nama Mbaknya siapa?”


“Fani, Bu.”


Dia mengangguk sambil bergumam, “Oh, Fani.”



Saat itu, gue nyesel gak tanya nama beliau juga. Gue lupa zzzz



“Malah curhat saya. Maafin ya, Mbak. Makasih lho, sudah mau mendengarkan. Tadi kata si Mbak habis ini lanjut ke Prambanan? Mampir ke rumah ya, cat rumah saya warna kuning.” katanya masih dengan aksen Jawa yang kental dan senyuman yang ramah.




Dari kejauhan, temen-temen gue sudah selesai Salat.




“Iya Ibu gak apa-apa. Insya Allah, makasih juga ya, Bu. Ibu hati-hati pulangnya.” kata gue sambil salaman, beliau minta cium pipi, gue membolehkan.
Temen-temen juga salaman dan pamit. Gue pamit dengan berat hati. Sebenarnya gue belajar banyak dari beliau.




Setelah gue keluar dari masjid, gue tersenyum penuh arti. Iya, ibu itu mengajarkan gue betapa ikhlasnya beliau sebagai seorang ibu. Beliau terus mendoakan yang terbaik untuk anaknya, meski anaknya berbeda keyakinan dengannya. Bahkan, beliau selalu berharap anaknya bisa bersama-sama dengannya di jalan Allah.



Kejadian sore ini yang bikin gue ngetik pengalaman di Masjid Gedhe Kauman. Temen SD gue, yang mungkin umurnya masih 17 tahun, dia meninggal dunia sore tadi pasca melahirkan. Anaknya selamat, tapi Allah berkata lain, anaknya harus besar tanpa kasih sayang ibu kandungnya. Gue kaget. Dia temen SD gue. Umur kita sama.
Ayah dan ibunya menangis masih belum bisa menerima, pun dengan suaminya.
Kepergian seseorang yang disayang memang selalu memberikan luka yang dalam. Karena kita belum siap untuk kehilangan. Kadang, kenangan tentang si dia membuat orang terdekat merasa bahwa dia masih hidup bersamanya. Tapi seiring berjalannya waktu, gue yakin keluarganya mampu mengikhlaskan. Terlebih temen SD gue itu berpulang setelah melakukan tugas mulia.
Semoga surgaNya untukmu. Aamiin..



Gue jadi inget mama. Yaa Allah, perjuangan mama waktu melahirkan pasti sama.
Bahkan sampai sekarang, mama selalu berkorban untuk anak-anaknya. Mama selalu rela gak makan demi anak dan suaminya. Mama gak pernah mengungkit bagaimana besar jasanya. Tapi gue? Kadang untuk menuruti kemauan nonton drama India kesukaannya masih sering menggerutu.




Gue punya keterbatasan untuk mengungkapkan secara langsung apa yang gue rasain. Makanya, susah banget gue bilang sayang sama mama. Tapi gue yakin, mama tahu gue sayang mama tanpa perlu bersuara. Tapi nanti, gue akan bilang itu secara langsung, dengan pelukan, dengan kecupan.





Ma, makanya gaul, dong. Baca nih postingan Teteh di blog. Teteh sayang Mama. Fufufu.






***





Untuk Ibu Tanpa Nama dari Yogyakarta, saya juga ikut mendoakan sekarang, dari sini, dengan jarak kita yang sangat jauh. Semoga anak Ibu bisa mendapatkan hidayah, sesuai dengan doa yang selalu Ibu panjatkan setiap hari.






Aamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Quotes Terbaik di Film You Are the Apple of My Eye

FF SEULMI + HANBIN | SECRET ADMIRER 1 (1 OF 2)

PUISI RADITYA DIKA: Kepada Orang yang Baru Patah Hati