FF | How If I Like You, Sachon? (Suzy + Wooyoung Version)

Cover by LuluAullma
How If I Like You, Sachon? (Suzy + Wooyoung Version)


Main Cast: Jang Wooyoung, Bae Suzy

Support Cast: Bae Sooyeon (OC), IU, Ok Taecyeon and others

Genre: Romance, Family

Length: Chapter

Rating: General

Description : Jang Wooyoung adalah sepupu Bae Suzy yang sudah 10 tahun tidak bertemu.




Story Begin..





“Aku pulang...”




Suzy menutup pintu, lalu meletakkan payung yang tadi ia pakai sepulangnya dari sekolah. Busan diguyur hujan sore ini, ia bersyukur karena menuruti perintah ibunya untuk membawa payung. Busan di musim penghujan memang sangat merepotkan.


Suzy membuka sepatunya, lalu ia letakkan di rak. Sudah dapat dipastikan keluarganya adalah keluarga rapi yang selalu memiliki tempat khusus untuk masing-masing benda.
Retinanya masih mencari ke mana ibu, ayah dan adiknya pergi. Dan... oh, tunggu! Matanya menangkap ada yang salah.
Ia melihat sosok lelaki sedang duduk di sofa ruang keluarga dengan televisi yang menyala. Sosok itu membelakanginya. Kakinya ia letakkan di atas meja sambil digoyang-goyangkan ke kiri dan kanan.


“Pen.... curi?”
Suzy berucap sepelan mungkin agar orang yang dianggapnya pencuri itu tak mendengar. Jantung Suzy berpacu sangat cepat. Kakinya bahkan gemetar. Tapi jika ia diam saja, besar kemungkinan rumahnya akan menjadi korban pencurian. Jadi ia memutar otak, kemudian mengendap-endap untuk mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Ia mengambil stik golf ayahnya dengan perasaan takut; takut jika nanti malah ia yang akan terluka.
Tapi ia harus berani. Ia tidak secemen itu untuk melawan pencuri. Lagi pula hanya seorang. Setidaknya menurutnya begitu.


Suzy mendekat perlahan tanpa menimbulkan bunyi apa pun. Saat sudah hampir sampai, ia mengangkat stik golfnya. Ia mulai menghitung mundur dalam hati untuk unjuk aksi.


5


4


3


2


“SATU! YAK! PENCURIIII....”


“AAAAARRGGHHH.”




***




“Jadi.., dia bukan pencuri?”


“Tentu saja! Ya Tuhan.. kau apakan keponakanku, Bae Suzy?!”


“Maaf, Eomma. Jangan marah, ya? Nanti cantikmu hilang bagaimana? Aku akan obati lukanya sekarang. Eomma jangan khawatir. Aku akan menutup sambungan teleponnya.”


“Bae Su-”




PIP




Suzy berjalan dengan wajah memelasnya menuju ruang keluarga. Ia menelepon ibunya untuk memastikan, tapi malah dimarahi. Ia mendudukkan tubuhnya di pinggir sepupunya, seolah ia tak pernah melakukan dosa apa pun terhadapnya.


“Sudah kubilang aku bukan pencuri,” ucap sepupu Suzy sentimen. Suzy menengok, “Ya. Aku sudah tahu. Maaf atas kecelakaan ini.”


“Kecelakaan?” ulang sepupu Suzy dengan nada penuh penekanan. Tentu saja, ia merasa dihina disebut sebagai pencuri. Belum lagi luka yang berhasil Suzy ciptakan di keningnya. “Kau bilang ini kecelakaan?!” ucapnya lagi sambil menunjuk keningnya.


Suzy berdiri. Ia beralih ke dapur yang tak jauh dari ruang keluarga. Diambilnya wadah berbahan alumunium untuk mengisi air. Ia akan mengompres luka sepupunya itu. “Lalu kau ingin menyebutnya apa jika bukan kecelakaan? Kekerasan dalam rumah tangga?” ketus Suzy sambil terus berjalan tak jelas di dapur.


“Demi Scarlett Overkill, ya. Aku tak ingin membangun rumah tangga denganmu!” kilah sepupu Suzy tak kalah ketus.


Suzy kembali ke ruang keluarga dengan tangan yang membawa wadah kosong dan handuk kecil miliknya. Ia menahan tawa, “Pfft. Dasar korban Minion!” Suzy mendudukkan kembali tubuhnya di dekat sepupunya, “Hei.., terakhir kali kau tinggal di sini ketika aku berumur 7 tahun, kan? Sekarang aku sudah 17 tahun. 10 tahun berlalu begitu saja dan kita hanya berkomunikasi lewat media sosial. Singkat kata, aku benar-benar tidak tahu wajahmu, Wooyoung Oppa.” lanjutnya.


“Tsk! Sudah kuduga.” Wooyoung berbicara sambil memegangi keningnya. Keningnya membengkak, dan ia hanya bisa membuang napas panjang karena hal ini. “Untuk apa kau membawa wadah kosong itu?” tanyanya.


Suzy tersenyum kikuk, “Oh, ini. Tadinya aku ingin mengompres lukamu. Tapi aku tidak tahu luka seperti itu harus dikompres dengan air panas atau air dingin. Menurutmu?” Suzy bertanya dengan air muka yang ia buat semanis mungkin.


Wooyoung memutar bola matanya malas, “Tsk! Dingin.” ucapnya datar.




***




“Ouch! Sakit, Zero!” Wooyoung mengerang kesakitan karena Suzy mengompres lukanya terlalu kuat. Suzy tak menggubrisnya. Ia malah membulatkan matanya, “Kau masih ingat nama panggilanmu kepadaku, Oppa?” tanyanya tak percaya.


Wooyoung mendengus, “Kau pikir aku sudah 50 tahun meninggalkan Korea? Ingatanku sangat bagus. Tapi bukan itu poin pentingnya. Keningku sakit!” ketusnya.


“Seperti menyindir.” jawab Suzy sambil mempoutkan bibirnya. “Aku sedang mengobati lukamu. Sebaiknya kau diam saja,” Suzy melanjutkan kegiatan mengompresnya.
Kali ini lebih pelan dengan penuh perasaan. Ia bahkan tak melepaskan pandangannya dari kening Wooyoung.
Wajah mereka sangat dekat sekarang. Wooyoung bahkan bisa merasakan napas hangat Suzy. Melihat Suzy yang telaten mengobati lukanya, membuat ia terpaku sejenak. Dilihatnya kontur wajah Suzy, menurutnya, tak ada yang berubah dari sepupunya ini.


Wooyoung ingat, ketika ia dan ibunya masih tinggal di rumah neneknya yang juga ditempati keluarga Suzy, ia yang masih berusia 9 tahun sering sekali menjahili Suzy yang masih berusia 7 tahun. Umur mereka hanya terpaut 2 tahun. Tapi begitu pun, Suzy terlalu kekanakan untuk seumuran mereka kala itu.
Suzy selalu takut jika ke mana-mana sendirian. Bahkan hanya untuk sekedar mengambil makanan di lemari pendingin pun, ia selalu minta ditemani.
Ibunya selalu menemani Suzy tidur, lebih tepatnya menunggu tertidur. Karena setelah Suzy tertidur, ibunya akan pindah kembali ke kamarnya.


Tapi begitu pun, meski Wooyoung kecil selalu menjahili Suzy kecil, ia tetap selalu melindungi sepupunya itu dengan penuh kasih sayang.
Mereka bersekolah di sekolah dasar yang sama. Mereka juga selalu berangkat dan pulang bersama. Wooyoung kembali ingat ketika ia mengayuh sepedanya yang membonceng Suzy kecil dengan kencang menuju pantai.
Suzy sangat ketakutan ketika itu. Matanya sudah memerah. Mungkin ia menangis Wooyoung tak tahu. Ia takut terjatuh. Ia tak suka pantai. Ia tak suka laut. “Oppa.. aku takut. Aku tidak suka laut. Kau, kan, tahu,” ucap Suzy yang kala itu masih di tahun pertama sekolah dasar.
Wooyoung tak menggubrisnya. Ia malah menarik tangan Suzy untuk mendekat ke bibir pantai. “Kau takut segalanya, Zero. Kemarilah, rasakan betapa hangatnya air laut ini.” Suzy memegang erat tangan Wooyoung yang membawanya sedikit ke tengah. Siang itu air laut sedang surut, sehingga tidak berbahaya untuk mereka bermain di sana.
“Wah! Airnya hangat, Oppa!” ucap Suzy girang. Ia lupa akan ketakutannya. Ia terus bermain air. Padahal, mereka masih memakai seragam sekolah.
Wooyoung tiba-tiba saja memekik, “Zero! Awas! Ada buaya!” Suzy yang panik, refleks memeluk Wooyoung yang ada di depannya. Ia menangis. Kepalanya ia sandarkan di dada Wooyoung. “Oppa... aku takut.”



Kilasan gambar mereka ketika kecil berputar di memorinya seperti potongan adegan sebuah film. Wooyoung tersenyum mengingat kejadian itu. Jelas-jelas di laut tidak ada buaya. Suzy masih sangat polos ketika itu. Tapi dalam kasus ini, polos dan bodoh memang beda tipis. Itu sebabnya ia memanggil Suzy dengan sebutan Zero. Karena dari dulu, Wooyoung selalu menganggap Suzy hanyalah angka nol yang tidak berarti apa-apa dan tidak tahu apa-apa.


Tapi, satu hal yang membuat Wooyoung terpaku untuk beberapa detik ketika memandang wajah Suzy tadi adalah... Suzy tetap cantik, bahkan sekarang jauh lebih cantik.


“Jangan memandangiku dengan tatapan seperti itu,” kata Suzy membuyarkan lamunan Wooyoung sambil menekan kuat lukanya.


Wooyoung memekik kesakitan, “Ouchhh! Yak! Sakit Zero!” sedangkan Suzy malah tertawa melihat Wooyoung kesakitan.





***





“Bagaimana kabarmu?” ucap Wooyoung memulai percakapan. Mereka kini sedang berada di beranda rumah, dengan dua cangkir teh hijau yang Suzy buatkan.
Suzy tersenyum canggung, “Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Kau lumayan tinggi sekarang,”


“Kau juga terlihat lebih gemuk. Padahal dulu kau seperti kerangka manusia berjalan. Hahaha” Wooyoung tertawa keras, Suzy hanya menatap jengkel padanya. “Tsk! Itu dulu. Aku makan dengan baik. Kapan kau pulang dari Tokyo?” tanya Suzy.


Wooyoung menyesap tehnya pelan. Ia merasa hangat malam ini. “Sejak seminggu yang lalu. Selama seminggu itu aku tinggal di Seoul, di apartemen teman kuliahku di Jepang.” ucapnya setelah meletakkan cangkir tehnya.


“Dan kau baru ke sini sekarang?” sindir Suzy.


Wooyoung berdecak sebelum berbicara, “Aku di Seoul sambil mengerjakan tugas, Bae Suzy.”


Suzy menggeleng, “Bukan. Bukan itu. Sudah 10 tahun, dan kau baru ke sini sekarang?” ucapnya ketus. Wooyoung kembali berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya Tuhan.. adikku tumbuh menjadi gadis yang sangat ketus rupanya.” ucap Wooyoung masih berusaha bercanda.


“Kau melupakan kami.”


“Aku tidak melupakan siapa pun,”


“Tapi kau melupakan kami. Melupakan Busan.”


Ada jeda yang lumayan panjang di antara mereka.


Sampai akhirnya Wooyoung bersuara,
“Aku sama sekali tidak melupakan kalian. Aku hanya.., aku hanya takut. Aku akan ingat Eomma jika aku ke sini, Zero. Dan aku... belum siap.” Wooyoung berbicara dengan suara parau.
Suasana tiba-tiba saja menjadi hening. Ia kembali teringat masa kecilnya yang paling buruk. Dulu, ayah dan ibunya bercerai ketika Wooyoung masih berumur 3 tahun. Ayahnya pergi meninggalkan mereka ke Jepang, sedangkan Wooyoung dan ibunya pindah dari Seoul ke Busan, ke rumah peninggalan neneknya yang ditempati oleh keluarga Suzy. Ibu Wooyoung yang bernama Kim Min Soo adalah kakak ibu Suzy yang bernama Kim Soo Ah. Mereka hanya 2 bersaudara. Sehingga dengan senang hati ibu Suzy menerima kedatangan mereka. Pun dengan ayah Suzy.


Bertahun-tahun berlalu, mulanya semua baik-baik saja meski Wooyoung kecil harus tumbuh tanpa kasih sayang ayahnya. Ia lupa hal itu karena ia sudah sangat disayang oleh ayah Suzy yang sudah seperti ayahnya sendiri.
Hingga pada suatu hari, ibunya sakit keras, Wooyoung kecil selalu merawat ibunya dengan baik. Sampai hari di mana ia pulang sekolah bersama Suzy, rumahnya terlihat ramai, awalnya ia biasa saja karena tak mengira hal itu terjadi. Tapi semakin Wooyoung dan Suzy mendekati rumah, semakin berdebar pula perasaan Wooyoung. “Ada apa ini, Imo?” tanya Wooyoung kepada bibinya. Ibu Suzy langsung memeluk Wooyoung dan menangis terisak. “Sayang.. i- bumu.. su- sudah me- ninggal.” ucap ibu Suzy terbata karena tangisannya.
Wooyoung hanya diam mematung. Jantungnya berdegup kencang. Kakinya lemas seketika saja. Ia melepaskan pelukan bibinya. Ia mundur selangkah, mundur lagi selangkah, mundur lagi selangkah, sehingga yang dilihatnya hanya hitam. Gelap. Pekat. Ia pingsan kala itu.


Sebulan berlalu, ayahnya yang sudah mendengar kabar mantan istrinya telah meninggal, langsung saja menemui Wooyoung di Busan dengan maksud untuk membawanya ke Jepang. Tidak ada yang setuju kala itu, karena ibu Suzy berniat mengangkat Wooyoung sebagai anaknya dan karena ibu Suzy tahu ayah Wooyoung sangat keras, selalu menggunakan kekerasan fisik. Itu yang membuat ibu dan ayah Wooyoung bercerai.
Tapi ayah Wooyoung merasa berhak atas Wooyoung. Ia membawa Wooyoung dengan paksa meski Wooyoung meronta minta dilepaskan dari cengkraman tangan ayahnya yang bahkan ia tak kenal.


Suzy berteriak, “Jangan sakiti Oppaku! Oppa... kumohon jangan pergi..” ucap Suzy sambil terisak.


Ibu dan ayah Suzy hanya bisa menangis melihat itu, mereka tak bisa berbuat banyak. “Bawa dia. Tapi kumohon jangan sakiti dia. Rawat dia dengan baik. Kumohon..” ucap ibu Suzy parau. Wooyoung sudah pasrah ketika itu, hingga dia benar-benar pergi meninggalkan keluarga Suzy.


10 tahun Wooyoung di Jepang, ia bersekolah dengan baik. Bahkan, sekarang ia sedang kuliah dengan mengambil fokus perfilman. Ayahnya memperlakukannya dengan sangat baik meski kadang sedikit tegas. Tapi begitu pun, ia sangat menyayangi ayahnya itu.




Suzy mengusap bahu Wooyoung pelan, “Maaf. Aku tak bermaksud.” ucapnya. Wooyoung menoleh, dan Suzy dapat dengan jelas melihat Wooyoung menangis meski orang itu sudah menyekanya sebelumnya. “Tidak apa-apa,” ucap Wooyoung masih parau.



Suzy bingung harus melakukan apa. Akhirnya ia membawa Wooyoung ke dalam pelukannya. Ia mengusap pelan kepala Wooyoung. Entah mengapa Suzy malah melakukan itu. Hal yang selalu Wooyoung lakukan ketika kecil jika Suzy sedang ketakutan.
Kini, Suzy berharap Wooyoung sedikitnya bisa merasa tenang berada dalam pelukannya.







TBC






Special for Dinda Ns.
But, hope you guys like this so far. Don't be afraid to criticise and give me your honest opinion.
Thank you~






With love,
Istifani M

Comments

Popular posts from this blog

Quotes Terbaik di Film You Are the Apple of My Eye

FF SEULMI + HANBIN | SECRET ADMIRER 1 (1 OF 2)

PUISI RADITYA DIKA: Kepada Orang yang Baru Patah Hati