JATUH HATI DIAM-DIAM
Jatuh hati diam-diam. Fyuh... baru mengetik judulnya saja kok langsung berat hati, ya? Padahal belum apa-apa.
Serius, deh. Ini tangan langsung lemas. Keringat dingin. Demam tinggi. Bintik-bintik merah. Kejang-kejang. Tunggu. Ini bahas jatuh hati diam-diam atau gejala DBD, sih?
Yang sekarang pengin gue tulis itu bukan apa-apa. Hanya curahan hati penulis yang bingung harus menyampaikan sesak —yang entah di bagian mana kepada siapa.
Sesak ini begitu menyiksa. Seperti ada secuil rasa yang mengganjal di dalam hati. Tapi justru karena secuil, rasa sakitnya malah tak terdeteksi. Akhirnya, tak terobati karena sesuatu itu pun entah di mana. Mau tidak mau jadi tak tertahankan karena terus-menerus. Akibatnya, keganjalan yang secuil itu lama untuk pulihnya. Singkatnya, itu membuat uring-uringan.
Jatuh hati diam-diam. Ah, gue yakin bukan hanya gue yang merasakan ini. Pasti banyak dari kalian yang sama cemennya seperi gue. Memendam sendirian. Akting sudah seperti bagian dalam hidup; selalu pura-pura bahagia. Curhat dan stalking dia di sosmed; berharap dia peka. Siapa tahu suatu hari nanti kepalanya terbentur aspal dan akhirnya bisa membalas rasa ini.
Siklus hidup gue seperti itu.
Gue adalah tipe cewek yang perfeksionis. Segalanya harus tampak sempurna tanpa cacat. Bahkan, setiap menulis sesuatu pun harus melewati proses editing beberapa kali—berhari-hari. Padahal tulisannya gak penting-penting banget. Selalu menuntut tulisan itu sesempurna ekspektasi. Tidak boleh ada typo, sesuatu yang ambigu, atau bahkan kalimat yang tidak efisien.
Tapi, justru karena ini, gue jadi sulit untuk suka sama cowok (iyalah, cowok!) karena memperhatikan semua aspek dalam diri dia.
Ini serius. Bahkan, sampai tata cara dia mengetik teks pun gue perhatikan. Sesuai EYD tidak. Sesuai KBBI tidak.
Hm.. karena tuntutan dari dalam diri itu lambat laun berubah menjadi sebuah patokan pokok. Iya, patokan untuk suka seseorang. Sederhananya, orang yang gue sukai harus lebih unggul dari diri gue sendiri. Mungkin begitu maksudnya. Sst. Ini bukan berarti gue unggul. Jangan salah paham.
Sialnya, entah karena apa dan kapan awalnya, gue pun suka sama dia. Lebih sialnya lagi, suka itu malah bertahan lama; itu artinya dia lolos dari tuntutan-tuntutan gue.
Tapi, kabar buruknya, gue adalah tipe cewek yang tidak bisa agresif. Dan you know lah. Tentunya gue mengubur dalam-dalam perasaan ini. Ini bagian terperihnya!
Tapi justru karena dikubur dalam-dalam, perasaan ini semakin hari malah semakin menjadi-jadi. Seperti biji yang dikubur dalam tanah. Tumbuh setiap jamnya. Dan itu bukanlah kabar yang baik.
Karena, lama-kelamaan, kok malah semakin nyesek, ya?
Jatuh hati diam-diam seperti sepihak menyukai. Seperti berharap pada sesuatu yang tidak nyata. Delusi setiap hari. Distraksi setiap hujan.
Apa perlu diungkapkan? Pertanyaan itu gue ulangi setiap pekan.
Dan lebih nyeseknya lagi, gue tahu orang yang gue sukai pun merasakan hal yang sama seperti gue; tapi bukan untuk gue. Diperjelas; untuk orang lain. Orang lain.
Kasihan dia. Kasihan gue. Kasihan status kami yang tertunda ini. (Iye, gue geer!)
Jatuh hati diam-diam. Karena tidak mau menjadi seorang pengecut lagi, entah minggu yang keberapa, akhirnya gue memutuskan untuk merelakan. Bahasa gaulnya; move on.
Karena move on hanyalah kentut belaka kalau tidak menemukan penggantinya, akhirnya gue mulai mencari-cari cara untuk berhasil move on.
Mencoba cara pertama. Gagal. Mencoba cara lain. Gagal lagi. Kampret. Terus aku kudu piye, Mas? Ngechat cowok lain? Sudah pernah mencoba. Tapi karena tidak berbakat mengawali chat, gue malah kelihatan aneh di mata dia. Himih..
Tapi.. ya, mau bagaimana lagi? Emansipasi wanita? Hm.., dalam kasus ini mungkin tidak bisa menjadi bagian darinya. RA Kartini pun belum tentu dahulu beremansipasi mengungkapkan lebih dulu perasaannya kepada seseorang yang dia sukai.
Karena cewek hanya bisa menunggu. Kecuali mereka yang memiliki nyali ganda.
Hell, yeaaaaah. Menunggu itu membosankan. Seperti kita disuruh untuk mengasuh anak seekor simpanse. Ogah. Ogah. Tentu jawabannya akan selalu seperti itu.
Eniwei, bicara soal menunggu, gue jadi ingat film First Kiss (Thailand). Film itu mengajarkan bahwa penantian-penantian yang sabar, pasti akan menghasilkan buah yang manis. Yang terpenting, harus dinikmati prosesnya.
Masalahnya, prosesnya itu pahit, broooo.
Menyerah dengan prosesnya, sekarang gue jadi distraksi, nih. Antara melanjutkan perasaan ini atau menyerah pada keadaan.
Kemarin, hampir saja gue berhasil merelakan. Tapi kentut. Dia itu selalu berdiri dalam jangkauan pandang gue.
Jauh-jauh, sih! Berdirilah di tempat yang tidak bisa gue lihat! Berdirilah bersama cewek lain dengan status yang jelas! Huwaaaaaa *nangis di pelukan Minho*
Tapi.. gue merasa cukup, sih. Tidak menyimpan ambisi atau harapan untuk memiliki. Seperti hanya mengikuti arusnya. Ya, walaupun harus terombang-ambing karena arusnya terlalu kencang, tapi setidaknya tetap kuat kok. Karena selalu ada ranting pohon besar yang mampu membuat gue bertahan atau tidak hanyut terlalu jauh. Ceileh. Dalem banget bahasa gue.
Eh, iya, jadi ingat lagi, baru kemarin-kemarin gue memosting FanFict dengan judul Secret Admirer. Di FanFict itu, si secret admirernya menulis sepucuk surat untuk seseorang yang dia sukai diam-diam. Surat yang berisi pengakuan itu dia simpan selama setahun dengan amat baik; meskipun sisi-sisi bekas lipatannya sudah menguning.
Dia terus menyimpannya karena terlalu takut untuk merusak persahabatan yang mereka sedang jalani.
Suratnya nyesek. Gue yang menulis, gue sendiri yang nyesek. Oke, gue tahu ini agak aneh.
Gue akan tulis isi suratnya di sini. Berharap si kampret baca. Eh, entahlah. Dia mungkin tidak pernah membuka blog gue. Tapi.., berharap dari sesuatu yang walaupun lebih tipis dari angan-angan, tidak ada salahnya, kan? Siapa tahu beruntung.
Begini isi surat si secret admirer itu:
Aku adalah aku
Yang mencintaimu seperti mencintai bayang semu
Aku adalah aku
Yang berharap padamu seperti menanti siluet dalam gelap gulita
Aku adalah aku
Yang selalu distraksi antara bicara atau tetap bisu
Tapi, aku bukanlah aku
Yang ketika kau menceritakan tentangnya, aku tersenyum untuk menyemangatimu
Itu adalah aku yang aku ciptakan untukmu
Itu menyakitkan. Sungguh..
Seperti hari itu, ketika aku melihatmu yang menatap penuh arti terhadapnya
Kau memujanya seperti memuja dewa
Tidakkah kau berpikir usahaku-lah yang justru menikam diriku sendiri?
Menjadi pendengar yang baik,
Menjadi penyeka air matamu,
Menjadi sandaranmu saat kau lemah,
Menjadi seseorang yang rela memayungimu ketika hujan meskipun aku harus basah kuyup,
Aku seperti bunuh diri, kau tahu?
Lalu aku harus menyebut diriku ini apa? Baik.. atau bodoh? Atau malah.. menyedihkan?
Ah, benar. Aku menyedihkan. Sangat menyedihkan..
Orang ada berkata tentang jatuh hati diam-diam..
Dan ternyata benar. Pada akhirnya, orang yang jatuh hati diam-diam hanya mampu mengubur dalam-dalam sorot mata penuh kasihnya.
Tapi.., sampai kapan?
***
Gue nyesek lagi saat selesai menulis ulang. Pas banget nusuk ke ulu hati.
Walaupun gue bukan pendengar yang baik dia, penyeka air mata dia, sandarannya saat dia lemah, atau bahkan seseorang yang rela memayungi dia, tapi kurang lebih, begitulah yang gue rasakan. Persis.
Hoaaaaaaaah..
Lelah mengetik. Bingung kelanjutannya. Jadi.. diakhiri saja sampai di sini my tulisan absurd. Gue akan lanjut dengan curahan hati yang mungkin sama tidak pentingnya seperti ini lagi.
The last.. semoga lu baca, ya.
Mengerti kalau gue selama ini mati-matian menyimpan rahasia besar hati ini.
Dan itu.. tidak mudah.
Tidak ada kata terima kasih kali ini.
Sekian dan sampai jumpa nanti good readers!
With love,
Istifani M
Serius, deh. Ini tangan langsung lemas. Keringat dingin. Demam tinggi. Bintik-bintik merah. Kejang-kejang. Tunggu. Ini bahas jatuh hati diam-diam atau gejala DBD, sih?
Yang sekarang pengin gue tulis itu bukan apa-apa. Hanya curahan hati penulis yang bingung harus menyampaikan sesak —yang entah di bagian mana kepada siapa.
Sesak ini begitu menyiksa. Seperti ada secuil rasa yang mengganjal di dalam hati. Tapi justru karena secuil, rasa sakitnya malah tak terdeteksi. Akhirnya, tak terobati karena sesuatu itu pun entah di mana. Mau tidak mau jadi tak tertahankan karena terus-menerus. Akibatnya, keganjalan yang secuil itu lama untuk pulihnya. Singkatnya, itu membuat uring-uringan.
Jatuh hati diam-diam. Ah, gue yakin bukan hanya gue yang merasakan ini. Pasti banyak dari kalian yang sama cemennya seperi gue. Memendam sendirian. Akting sudah seperti bagian dalam hidup; selalu pura-pura bahagia. Curhat dan stalking dia di sosmed; berharap dia peka. Siapa tahu suatu hari nanti kepalanya terbentur aspal dan akhirnya bisa membalas rasa ini.
Siklus hidup gue seperti itu.
Gue adalah tipe cewek yang perfeksionis. Segalanya harus tampak sempurna tanpa cacat. Bahkan, setiap menulis sesuatu pun harus melewati proses editing beberapa kali—berhari-hari. Padahal tulisannya gak penting-penting banget. Selalu menuntut tulisan itu sesempurna ekspektasi. Tidak boleh ada typo, sesuatu yang ambigu, atau bahkan kalimat yang tidak efisien.
Tapi, justru karena ini, gue jadi sulit untuk suka sama cowok (iyalah, cowok!) karena memperhatikan semua aspek dalam diri dia.
Ini serius. Bahkan, sampai tata cara dia mengetik teks pun gue perhatikan. Sesuai EYD tidak. Sesuai KBBI tidak.
Hm.. karena tuntutan dari dalam diri itu lambat laun berubah menjadi sebuah patokan pokok. Iya, patokan untuk suka seseorang. Sederhananya, orang yang gue sukai harus lebih unggul dari diri gue sendiri. Mungkin begitu maksudnya. Sst. Ini bukan berarti gue unggul. Jangan salah paham.
Sialnya, entah karena apa dan kapan awalnya, gue pun suka sama dia. Lebih sialnya lagi, suka itu malah bertahan lama; itu artinya dia lolos dari tuntutan-tuntutan gue.
Tapi, kabar buruknya, gue adalah tipe cewek yang tidak bisa agresif. Dan you know lah. Tentunya gue mengubur dalam-dalam perasaan ini. Ini bagian terperihnya!
Tapi justru karena dikubur dalam-dalam, perasaan ini semakin hari malah semakin menjadi-jadi. Seperti biji yang dikubur dalam tanah. Tumbuh setiap jamnya. Dan itu bukanlah kabar yang baik.
Karena, lama-kelamaan, kok malah semakin nyesek, ya?
Jatuh hati diam-diam seperti sepihak menyukai. Seperti berharap pada sesuatu yang tidak nyata. Delusi setiap hari. Distraksi setiap hujan.
Apa perlu diungkapkan? Pertanyaan itu gue ulangi setiap pekan.
Dan lebih nyeseknya lagi, gue tahu orang yang gue sukai pun merasakan hal yang sama seperti gue; tapi bukan untuk gue. Diperjelas; untuk orang lain. Orang lain.
Kasihan dia. Kasihan gue. Kasihan status kami yang tertunda ini. (Iye, gue geer!)
Jatuh hati diam-diam. Karena tidak mau menjadi seorang pengecut lagi, entah minggu yang keberapa, akhirnya gue memutuskan untuk merelakan. Bahasa gaulnya; move on.
Karena move on hanyalah kentut belaka kalau tidak menemukan penggantinya, akhirnya gue mulai mencari-cari cara untuk berhasil move on.
Mencoba cara pertama. Gagal. Mencoba cara lain. Gagal lagi. Kampret. Terus aku kudu piye, Mas? Ngechat cowok lain? Sudah pernah mencoba. Tapi karena tidak berbakat mengawali chat, gue malah kelihatan aneh di mata dia. Himih..
Tapi.. ya, mau bagaimana lagi? Emansipasi wanita? Hm.., dalam kasus ini mungkin tidak bisa menjadi bagian darinya. RA Kartini pun belum tentu dahulu beremansipasi mengungkapkan lebih dulu perasaannya kepada seseorang yang dia sukai.
Karena cewek hanya bisa menunggu. Kecuali mereka yang memiliki nyali ganda.
Hell, yeaaaaah. Menunggu itu membosankan. Seperti kita disuruh untuk mengasuh anak seekor simpanse. Ogah. Ogah. Tentu jawabannya akan selalu seperti itu.
Eniwei, bicara soal menunggu, gue jadi ingat film First Kiss (Thailand). Film itu mengajarkan bahwa penantian-penantian yang sabar, pasti akan menghasilkan buah yang manis. Yang terpenting, harus dinikmati prosesnya.
Masalahnya, prosesnya itu pahit, broooo.
Menyerah dengan prosesnya, sekarang gue jadi distraksi, nih. Antara melanjutkan perasaan ini atau menyerah pada keadaan.
Kemarin, hampir saja gue berhasil merelakan. Tapi kentut. Dia itu selalu berdiri dalam jangkauan pandang gue.
Jauh-jauh, sih! Berdirilah di tempat yang tidak bisa gue lihat! Berdirilah bersama cewek lain dengan status yang jelas! Huwaaaaaa *nangis di pelukan Minho*
Tapi.. gue merasa cukup, sih. Tidak menyimpan ambisi atau harapan untuk memiliki. Seperti hanya mengikuti arusnya. Ya, walaupun harus terombang-ambing karena arusnya terlalu kencang, tapi setidaknya tetap kuat kok. Karena selalu ada ranting pohon besar yang mampu membuat gue bertahan atau tidak hanyut terlalu jauh. Ceileh. Dalem banget bahasa gue.
Eh, iya, jadi ingat lagi, baru kemarin-kemarin gue memosting FanFict dengan judul Secret Admirer. Di FanFict itu, si secret admirernya menulis sepucuk surat untuk seseorang yang dia sukai diam-diam. Surat yang berisi pengakuan itu dia simpan selama setahun dengan amat baik; meskipun sisi-sisi bekas lipatannya sudah menguning.
Dia terus menyimpannya karena terlalu takut untuk merusak persahabatan yang mereka sedang jalani.
Suratnya nyesek. Gue yang menulis, gue sendiri yang nyesek. Oke, gue tahu ini agak aneh.
Gue akan tulis isi suratnya di sini. Berharap si kampret baca. Eh, entahlah. Dia mungkin tidak pernah membuka blog gue. Tapi.., berharap dari sesuatu yang walaupun lebih tipis dari angan-angan, tidak ada salahnya, kan? Siapa tahu beruntung.
Begini isi surat si secret admirer itu:
Aku adalah aku
Yang mencintaimu seperti mencintai bayang semu
Aku adalah aku
Yang berharap padamu seperti menanti siluet dalam gelap gulita
Aku adalah aku
Yang selalu distraksi antara bicara atau tetap bisu
Tapi, aku bukanlah aku
Yang ketika kau menceritakan tentangnya, aku tersenyum untuk menyemangatimu
Itu adalah aku yang aku ciptakan untukmu
Itu menyakitkan. Sungguh..
Seperti hari itu, ketika aku melihatmu yang menatap penuh arti terhadapnya
Kau memujanya seperti memuja dewa
Tidakkah kau berpikir usahaku-lah yang justru menikam diriku sendiri?
Menjadi pendengar yang baik,
Menjadi penyeka air matamu,
Menjadi sandaranmu saat kau lemah,
Menjadi seseorang yang rela memayungimu ketika hujan meskipun aku harus basah kuyup,
Aku seperti bunuh diri, kau tahu?
Lalu aku harus menyebut diriku ini apa? Baik.. atau bodoh? Atau malah.. menyedihkan?
Ah, benar. Aku menyedihkan. Sangat menyedihkan..
Orang ada berkata tentang jatuh hati diam-diam..
Dan ternyata benar. Pada akhirnya, orang yang jatuh hati diam-diam hanya mampu mengubur dalam-dalam sorot mata penuh kasihnya.
Tapi.., sampai kapan?
***
Gue nyesek lagi saat selesai menulis ulang. Pas banget nusuk ke ulu hati.
Walaupun gue bukan pendengar yang baik dia, penyeka air mata dia, sandarannya saat dia lemah, atau bahkan seseorang yang rela memayungi dia, tapi kurang lebih, begitulah yang gue rasakan. Persis.
Hoaaaaaaaah..
Lelah mengetik. Bingung kelanjutannya. Jadi.. diakhiri saja sampai di sini my tulisan absurd. Gue akan lanjut dengan curahan hati yang mungkin sama tidak pentingnya seperti ini lagi.
The last.. semoga lu baca, ya.
Mengerti kalau gue selama ini mati-matian menyimpan rahasia besar hati ini.
Dan itu.. tidak mudah.
Tidak ada kata terima kasih kali ini.
Sekian dan sampai jumpa nanti good readers!
With love,
Istifani M
Comments
Post a Comment