[DRABBLE] Uncle Yoo
Bulir bening jatuh di permukaan pipi pria itu; air mata yang menggenang tertahan, yang memaksa untuk dikeluarkan.
Sentuhan-sentuhan kasar tangannya sendiri memberikan sedikit luka di pipi kanannya. Ia hanya berniat menyeka air matanya tanpa sadar jika pipinya tergores. Ia tak dapat mengontrol dirinya sendiri.
Di suatu ruangan bernuansa putih, dengan suara tangisan seorang wanita di dalam sana, dengan suara elektro kardiogarfi di ruangan lain yang membuatnya gusar, dengan langkah-langkah yang melewatinya; langkah gontai bahkan khawatir beberapa orang, ditambah dengan langkah tegas berwibawa pria yang memakai jas putih bersama antek-anteknya yang setia memakai pakaian hijaunya. Mereka semua melewatinya. Seperti tidak terjadi apa-apa padanya.
Bagaimanapun, pikirnya, setiap orang memiliki kehidupan masing-masing. Ada yang pantas untuk dipedulikan, dan ada pula yang tak wajar jika dipedulikan. Seperti mereka yang melewati dirinya tanpa menoleh sama sekali, mereka itu adalah orang-orang yang tak wajar jika memedulikannya. Karena fakta berkata bahwa garis mereka adalah asing.
Tapi salahkah ia berharap? Ia berharap seseorang menghampirinya. Menguatkannya. Memberikan kehangatan di pundaknya. Ia berharap ada yang seperti itu.
Lalu beberapa menit setelah ia berpikir seperti itu, seorang gadis datang ke arahnya. Memberikan ia sedikit harapan untuk dapat menumpahkan kesedihannya.
Gadis itu berlari dari kejauhan, melewati lorong sempit yang memang terdapat banyak orang yang lalu-lalang. Gadis itu seakan tak peduli, yang terpenting adalah sampai pada sosok pria yang sedang lemah itu.
“Huh- ma- maaf. A- aku terlambat. Tapi aku membawa ini.” ucap gadis itu sambil terengah. Kemudian ia memberikan sebuah benda kepunyaan si pria.
***
Di sana mereka sekarang, duduk berdampingan di bangku yang disediakan rumah sakit untuk menunggu pasien. Mereka hanya terdiam. Tak ada yang berani memulai untuk bicara. Mungkin bagi si pria, pedihnya kehilangan membuat fokusnya terpecah berantakan.
Pria itu menoleh ke kiri, lalu ia mengarahkan titik fokus matanya ke benda yang gadis itu bawa. Sebuah action figure.
Seketika si pria ingat. Action figure-nya selalu tersimpan rapi di kamarnya. Terlebih lagi karakter yang satu itu, ia selalu membawanya di tas sekolah.
“Maaf aku lancang membawa ini. Tadi aku ke rumahmu dulu untuk menjemput bibi, tapi ternyata bibi sudah ke sini lebih dulu. Saat aku di ruang keluarga, aku melihat tasmu. Ya sudah, deh, aku bawa ini, hehehe.” ucap si gadis memecah keheningan.
Tak ada respon.
“Aku tahu aku tidak membawa semua action figure koleksimu, tapi.. Thor ini lebih dari cukup, bukan? Kalau aku membawa semua koleksimu, aku perlu mengangkutnya dengan mobil pick up, benar?” gadis itu menggerakkan action figure Thor ke kiri dan kanan. Lalu ia buat seakan benda itu terbang. “Kau pernah bilang benda ini bisa mengobati luka hati seseorang, maka dari itu aku membawanya.” lanjutnya sambil tetap menerbangkan benda itu.
Woosh.. Woosh..
“Hn.. aku jadi ingat ketika kita di tahun pertama SMA. Saat itu, aku sedang terpuruk karena beberapa hal. Aku selalu ke atap sekolah setiap jam makan siang. Tiba-tiba saja, tak ada angin tak ada hujan, kau datang menghampiriku lalu berkata bahwa Paman Yoo akan mengobati luka hatiku. Kupikir Paman Yoo adalah seorang psikiater kenalanmu, tapi ternyata action figure Thor ini. Aku tahu kau sangat menyukai karakter superhero Marvel, tapi sama sekali tak terpikirkan olehku bahwa Paman Yoo adalah ini. Yak.. kau menerbangkannya seperti ini,” ucap si gadis sambil terus menggerakkan action figure itu.
Woosh.. Woosh..
Pria itu memalingkan wajahnya. Ia berniat menyembunyikan kelemahannya, seperti.. air matanya, mungkin?
“Sekarang aku mengalami beberapa hal yang dulu kau alami.” ucap si pria. Ia membuang napas kasar. Berat. Sesak. Sakit. Pedih. Kecewa. Kehilangan. Perasaannya campur aduk saat ini. “Dan sekarang aku sudah tidak memiliki orangtua. Aku.. sendirian.” lanjutnya.
“Tidak! Kau salah besar. Kau tidak sendirian. Ada aku, bibimu dan Paman Yoo di sini.”
“Action figure itu adalah hadiah ulang tahunku dari ayah yang ke 15 tahun. Dia tahu aku sangat menyukai karakter Thor. Dia membelinya ketika di Amerika. Dia berkata bahwa aku bisa memanggilnya dengan sebutan Paman Yoo. Paman Yoo akan menjagaku. Paman Yoo akan mengobati luka hatiku. Paman Yoo akan setia. Selalu saja berkata seperti itu seakan aku adalah anak kecil. Apa dia tidak tahu kalau aku lebih membutuhkannya daripada benda itu?”
Gadis itu menatap lekat pada si pria. Tangannya secara refleks memegang pundak si pria. Ia mengelus pelan pundak yang lemah itu. Berharap bisa menyalurkan kehangatan lewat sentuhan fisik yang sederhana antara keduanya. “Jika ayahmu berkata seperti itu, tidak peduli apa pun ucapannya, maka kau harus memercayainya.” gadis itu tersenyum kecil. Ia beralih mengusap punggung pria itu. Seakan sentuhan itu dapat memberikan kekuatan lebih untuknya. Ia mengerti bagaimana perasaan si pria. Pedihnya kehilangan. Sesaknya ditinggalkan. Ia mengerti. Sangat mengerti.
“Aku lebih dulu mengalami ini. Tapi lihatlah.. aku dapat bertahan sampai sejauh ini, kan? Dan.. mengapa kita harus dihadapkan pada kematian orang-orang terkasih? Karena hal itu dapat membuat kita mengerti tentang pentingnya arti sebuah kehidupan. Hidup akan terus berlanjut dan bergerak maju. Buatlah ayahmu bangga padamu. Maka dia akan tersenyum di tempatnya yang baru.”
“.......”
“Kau yang aku kenal adalah sosok yang kuat, ceria, selalu tersenyum, dan hebat dalam berbagai hal. Aku saja sampai iri padamu. Jadi, aku mengizinkanmu menangis dan bersedih untuk beberapa hari ini karena itu adalah hal yang wajar. Tapi ingat.., jangan sampai berlarut, ya! Karena kita sama, kita bisa hadapi ini bersama-sama.”
Si pria tersenyum kecil. Gadis itu adalah satu-satunya orang yang mampu membuatnya tenang selama ini. Seperti sekarang, meskipun ia tak mampu berkata-kata lagi, tapi senyum simpulnya dapat menandakan bahwa ia merasa lebih baik dari sebelumnya.
Ia paham mengapa mendiang ayah dan ibunya sangat menyukai gadis itu.
Kini ia menenggelamkan dirinya dalam pelukan si gadis. Meletakkan dagunya di atas pundak yang begitu nyaman. Kemudian meneteskan kembali bulir bening itu dari mata sendunya.
Tapi kali ini berbeda. Dengan napas yang teratur, dengan tangan yang sudah tak mengepal, dengan hati yang perlahan membaik. Semua itu karena kehadirannya. Gadis yang awalnya tak begitu spesial untuknya.
“Terima kasih. Aku akan membuat orangtuaku bangga.”
THE END
PS: marvel. Itu keyword-mu, kan? Terima kasih sudah memilih kata kunci yang membuat saya kerepotan-_-
Perlu beberapa hari untuk saya membuatnya. Satu.. dua.. tiga.. atau empat, eum? Entahlah lupa>.<
Dan jangan salahkan saya kalau ceritanya aneh. Salah sendiri memilih kata Marvel *deathglare
Dan.. semoga menikmati, ya. Gak berharap untuk suka kok *kodecewek
Oke. Terima kasih *deepbow
Salam ceria,
Istifani M
Comments
Post a Comment