CERPEN | OBSERVATION
16 Agustus 2016
Malam itu, di pusat ibu kota Provinsi Jawa Timur, tepatnya di alun-alun Contong, Bubutan, Surabaya; sebuah kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut, tiga orang pemuda sedang berjalan beriringan sambil berbincang.
Malam yang cukup indah, dengan bulan yang menggantung sempurna walaupun sebagian bintangnya bersembunyi entah di mana. Suara derap langkah dari alas kaki yang masyarakat gunakan di sana masih saling bersahutan merdu dengan suara kendaraan yang hilir-mudik. Menandakan bahwa malam tak menjadi alasan untuk mereka bersosialisasi dengan uang yang dihambur-hamburkan. Bukan. Bukan berarti mereka masyarakat hedonis. Hanya saja, ini adalah malam sebelum hari peringatan kemerdekaan RI, tapi yang mereka lakukan tak ada korelasinya dengan tanggal bersejarah besok. Di antara mereka semua ada yang hanya berkumpul sambil memakan snack dan bermain gitar saja, yang berpacaran; ini jelas yang mengganggu, yang hanya berjalan saja tanpa tujuan pun ada.
Ini merupakan pandangan salah satu dari tiga pemuda yang berjalan beriringan tadi, pikirnya, daripada berkumpul dengan alasan yang tidak jelas di tempat ramai seperti ini, lebih baik berdiam diri di rumah. Belajar atau menonton film kesukaan adalah yang terbaik. Tapi karena tugas mata pelajaran PKn yang mewajibkan mereka melakukan observasi mengenai moral anak bangsa dan kecintaan terhadap budaya lokal; dalam rangka menyambut baik peringatan hari kemerdekaan RI besok, memaksanya harus menginjakkan langkah beratnya di tanah lapang ini.
"Lihat ke sebelah sana, mereka membuang sampah sembarangan. Ambil gambarnya dan tulis ke dalam data." instruksi Rufino, salah satu dari tiga pemuda tadi.
Dua lainnya mengangguk semangat. Mereka adalah Adit dan Naufal. Adit sendiri memiliki tugas sebagai juru foto, sementara Naufal, dengan buku catatan kecil yang menggantung di lehernya bertugas untuk mencatat data hasil observasi mereka. Rufino sendiri.., dia sebagai ketua kelompok bertugas sebagai juru bicara.
Mereka melanjutkan perjalanan. Saat ada dua pemuda yang duduk di bawah sebuah pohon yang berukuran sedang sambil bermain gitar, salah satu dari mereka berhenti mendadak.
"Saatnya kasih mereka pertanyaan, No." kata Adit berbisik. Rufino hanya mengangguk, kemudian mereka bertiga mendatangi dua pemuda tadi.
"Maaf, Mas, ganggu waktunya sebentar. Boleh kami tanya-tanya?" dengan wajah kebingungan mereka mengangguk, "Boleh. Boleh. Tanya seputar apa?" jawab salah satu dari mereka.
"Mas bangga menjadi anak Surabaya, kan? Pertanyaannya seputar Surabaya kok." Kedua pemuda tadi pun mengangguk. Rufino menarik napasnya perlahan, "Langsung saja, ya, hari jadi Surabaya jatuh pada tanggal?" tanya Rufino.
Kedua pemuda tadi mulai berpikir, sementara Adit dan Naufal bersiap mengerjakan tugas mereka. Lama kedua pemuda tadi berpikir, akhirnya salah satu dari mereka menjawab, "bulannya itu Mei. Tapi tanggal dan tahunnya lupa. Maaf maaf." katanya sambil menggaruk kepala.
Rufino, Adit dan Naufal membuang napas kasar. Bagaimanapun, mereka hanya akan mensurvey 10 orang saja. Dan apa pun jawaban mereka, benar atau salah, tetap harus dimasukkan ke dalam data. Karena data tidak boleh dimanipulasi.
Akhirnya mereka bertiga pamit setelah sebelumnya berbincang santai dan memberikan stiker bertuliskan, "Bangga Surabaya" kepada dua pemuda tadi.
Kemudian ketiganya melanjutkan survey. Orang kedua, ketiga, keempat, kelima, sampai kesembilan sudah ditanyakan. Mereka ditanyai pertanyaan yang berbeda. Mulai dari makanan khas Surabaya, tarian adat Surabaya, tempat-tempat bersejarah di Surabaya, tokoh-tokoh yang berpengaruh, sampai soal persepakbolaan Surabaya. Dan menurut data yang dikumpulkan, pertanyaan yang tak terjawab lantaran kurangnya pengetahuan mengenai budaya lokal lebih mendominasi.
Senyuman miris ketiganya terpatri jelas. Peluh membanjiri tubuh mereka. Meski malam hari tak ada terik, tetap saja keliling alun-alun kota dan menyusuri setiap sudutnya merupakan kegiatan yang menguras energi.
"Semangat. Satu orang lagi. Dan orang terakhir ini harus beda." kata Naufal memecah keheningan. Adit mengernyitkan dahi, "Seperti...?"
"Anak kecil." jawab Rufino santai.
Pukul 20.21
Mereka kembali berkeliling alun-alun kota. Mencari anak kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tapi sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda keberadaan anak kecil. Jelas saja, ini sudah malam. Ibu mana yang membiarkan anaknya yang masih kecil berkeliaran sampai larut?
Semangat mereka mengendur. Lalu ketiganya memutuskan untuk duduk di bangku taman. Lelah. Hanya itu yang mereka rasakan.
Sebenarnya, tugas mata pelajaran PKn tidak mengharuskan untuk melakukan survey. Yang terpenting ada data hasil mengamati mengenai moral anak bangsa dan kecintaannya terhadap budaya lokal. Tapi bagaimana kita bisa mendapatkan sebuah data yang benar jika hanya dengan mengamati saja? Begitu pikir ketiganya. Mereka terlalu cerdas.
Lalu saat mereka sudah tak berharap apa-apa lagi karena lelah yang melanda, tiba-tiba saja dari kejauhan ada seorang anak perempuan; yang bisa ketiganya prediksi masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sedang berjalan bergandengan dengan seorang lelaki tua. Kemudian ketiganya memprediksi bahwa lelaki tua itu adalah ayahnya. Setelah banyak berspekulasi dan berunding, akhirnya ketiganya memutuskan untuk menghampiri pasangan ayah dan anak itu.
Langkah mereka semakin mendekat, hingga saat jarak tak lagi memisahkan, Rufino berseru sopan, "Malam, Pak. Malam, Dek. Boleh minta waktunya sebentar?"
Ayah dan anak itu saling melirik, kemudian mengangguk sambil tersenyum. "Ada perlu apa, Nak?" kata si ayah lembut namun juga tegas.
"Kami mendapat tugas sekolah untuk meneliti moral anak bangsa dan kecintaannya terhadap budaya lokal. Kami sudah mensurvey 9 orang dan tersisa 1 orang lagi. Nah, selama survey, kami kebanyakan mensurvey orang-orang dewasa dan pelajar SMA. Untuk yang terakhir kami sepakat untuk mensurvey anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Anak Bapak masih SD, apa kami benar?" jelas dan tanya Rufino dengan ramah.
"Iya, aku kelas 4 SD, Kak." jawab si anak, dan ayahnya hanya tersenyum. Anak ini cantik, berkulit putih dan berambut hitam ikal. Matanya yang sipit jelas sekali menandakan bahwa ia adalah keturunan Tionghoa. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya, dan tautan tangannya dari si ayah pun tak pernah terlepas.
Setelah banyak berbincang, Rufino pun menanyakan yang menjadi tujuan intinya. Dengan senyum yang mengembang, ia bertanya, "Hari jadi kota Surabaya jatuh pada tanggal?"
Si anak dengan cepat menjawab, "31 Mei 1293."
"Hebat. Keren. Duh, pintarnya. Lagi, ya, siapakah tokoh yang membangkitkan semangat rakyat Surabaya untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA?"
"Bung Tomo. Semua rakyat Surabaya pasti tahu." jawabnya sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
"Wow. Hebat. Ya sudah, yang terakhir ya, Dek. Berhubung besok tanggal 17 Agustus; peringatan hari kemerdekaan Indonesia, tolong sebutkan isi teks proklamasi yang Ir. Soekarno bacakan saat pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia."
"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain. Diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta." ucap anak tersebut begitu tegas.
Rufino, Adit, Naufal dan juga si ayah pun bertepuk tangan. Anak itu mengucapkan teks proklamasi begitu tegas. Tak lupa satu kata pun. Semuanya tersenyum. Dengan cepat Naufal mengeluarkan stiker dan juga permen lolipop berukuran besar untuk si anak. Anak itu tersenyum senang, bahkan dia sedikit tertawa saat Naufal memberikan lolipop itu dengan cara berlutut.
Kemudian mereka bertiga pamit, menjabat tangan sambil mengucapkan terima kasih. Penutup yang baik memang bisa merubah mood awal.
Di bawah langit malam, semilir angin menerbangkan dedaunan kering yang berwarna kuning kecokelatan. Rufino, Adit dan Naufal pun mengeratkan jaket yang mereka pakai. Ketiganya pulang dengan senyum penuh arti. Seperti ada banyak pelajaran yang mereka dapatkan malam ini. Seperti ada rasa bangga yang membuat mereka ingin sekali membusungkan dada dan menepuk-nepuknya.
Mereka belajar bahwa umur bukanlah patokan dari segalanya. Termasuk soal kecintaannya terhadap budaya dan bangsa.
Kemudian ada beberapa penduduk memasang bendera merah putih yang diikatkan menggunakan tali pada kayu. Dengan sigap mereka bertiga hormat kepada bendera. Dengan tangan dan tubuh yang tegap. Dengan senyuman yang mengembang. Dengan kebanggaan mereka terhadap budaya dan negara mereka.
Hanya Tuhan yang tahu, bahwa ternyata dalam hati mereka masing-masing mengucapkan hal yang sama. Yaitu..
"Aku bangga menjadi anak Indonesia."
The end.
Malam itu, di pusat ibu kota Provinsi Jawa Timur, tepatnya di alun-alun Contong, Bubutan, Surabaya; sebuah kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut, tiga orang pemuda sedang berjalan beriringan sambil berbincang.
Malam yang cukup indah, dengan bulan yang menggantung sempurna walaupun sebagian bintangnya bersembunyi entah di mana. Suara derap langkah dari alas kaki yang masyarakat gunakan di sana masih saling bersahutan merdu dengan suara kendaraan yang hilir-mudik. Menandakan bahwa malam tak menjadi alasan untuk mereka bersosialisasi dengan uang yang dihambur-hamburkan. Bukan. Bukan berarti mereka masyarakat hedonis. Hanya saja, ini adalah malam sebelum hari peringatan kemerdekaan RI, tapi yang mereka lakukan tak ada korelasinya dengan tanggal bersejarah besok. Di antara mereka semua ada yang hanya berkumpul sambil memakan snack dan bermain gitar saja, yang berpacaran; ini jelas yang mengganggu, yang hanya berjalan saja tanpa tujuan pun ada.
Ini merupakan pandangan salah satu dari tiga pemuda yang berjalan beriringan tadi, pikirnya, daripada berkumpul dengan alasan yang tidak jelas di tempat ramai seperti ini, lebih baik berdiam diri di rumah. Belajar atau menonton film kesukaan adalah yang terbaik. Tapi karena tugas mata pelajaran PKn yang mewajibkan mereka melakukan observasi mengenai moral anak bangsa dan kecintaan terhadap budaya lokal; dalam rangka menyambut baik peringatan hari kemerdekaan RI besok, memaksanya harus menginjakkan langkah beratnya di tanah lapang ini.
"Lihat ke sebelah sana, mereka membuang sampah sembarangan. Ambil gambarnya dan tulis ke dalam data." instruksi Rufino, salah satu dari tiga pemuda tadi.
Dua lainnya mengangguk semangat. Mereka adalah Adit dan Naufal. Adit sendiri memiliki tugas sebagai juru foto, sementara Naufal, dengan buku catatan kecil yang menggantung di lehernya bertugas untuk mencatat data hasil observasi mereka. Rufino sendiri.., dia sebagai ketua kelompok bertugas sebagai juru bicara.
Mereka melanjutkan perjalanan. Saat ada dua pemuda yang duduk di bawah sebuah pohon yang berukuran sedang sambil bermain gitar, salah satu dari mereka berhenti mendadak.
"Saatnya kasih mereka pertanyaan, No." kata Adit berbisik. Rufino hanya mengangguk, kemudian mereka bertiga mendatangi dua pemuda tadi.
"Maaf, Mas, ganggu waktunya sebentar. Boleh kami tanya-tanya?" dengan wajah kebingungan mereka mengangguk, "Boleh. Boleh. Tanya seputar apa?" jawab salah satu dari mereka.
"Mas bangga menjadi anak Surabaya, kan? Pertanyaannya seputar Surabaya kok." Kedua pemuda tadi pun mengangguk. Rufino menarik napasnya perlahan, "Langsung saja, ya, hari jadi Surabaya jatuh pada tanggal?" tanya Rufino.
Kedua pemuda tadi mulai berpikir, sementara Adit dan Naufal bersiap mengerjakan tugas mereka. Lama kedua pemuda tadi berpikir, akhirnya salah satu dari mereka menjawab, "bulannya itu Mei. Tapi tanggal dan tahunnya lupa. Maaf maaf." katanya sambil menggaruk kepala.
Rufino, Adit dan Naufal membuang napas kasar. Bagaimanapun, mereka hanya akan mensurvey 10 orang saja. Dan apa pun jawaban mereka, benar atau salah, tetap harus dimasukkan ke dalam data. Karena data tidak boleh dimanipulasi.
Akhirnya mereka bertiga pamit setelah sebelumnya berbincang santai dan memberikan stiker bertuliskan, "Bangga Surabaya" kepada dua pemuda tadi.
Kemudian ketiganya melanjutkan survey. Orang kedua, ketiga, keempat, kelima, sampai kesembilan sudah ditanyakan. Mereka ditanyai pertanyaan yang berbeda. Mulai dari makanan khas Surabaya, tarian adat Surabaya, tempat-tempat bersejarah di Surabaya, tokoh-tokoh yang berpengaruh, sampai soal persepakbolaan Surabaya. Dan menurut data yang dikumpulkan, pertanyaan yang tak terjawab lantaran kurangnya pengetahuan mengenai budaya lokal lebih mendominasi.
Senyuman miris ketiganya terpatri jelas. Peluh membanjiri tubuh mereka. Meski malam hari tak ada terik, tetap saja keliling alun-alun kota dan menyusuri setiap sudutnya merupakan kegiatan yang menguras energi.
"Semangat. Satu orang lagi. Dan orang terakhir ini harus beda." kata Naufal memecah keheningan. Adit mengernyitkan dahi, "Seperti...?"
"Anak kecil." jawab Rufino santai.
Pukul 20.21
Mereka kembali berkeliling alun-alun kota. Mencari anak kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tapi sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda keberadaan anak kecil. Jelas saja, ini sudah malam. Ibu mana yang membiarkan anaknya yang masih kecil berkeliaran sampai larut?
Semangat mereka mengendur. Lalu ketiganya memutuskan untuk duduk di bangku taman. Lelah. Hanya itu yang mereka rasakan.
Sebenarnya, tugas mata pelajaran PKn tidak mengharuskan untuk melakukan survey. Yang terpenting ada data hasil mengamati mengenai moral anak bangsa dan kecintaannya terhadap budaya lokal. Tapi bagaimana kita bisa mendapatkan sebuah data yang benar jika hanya dengan mengamati saja? Begitu pikir ketiganya. Mereka terlalu cerdas.
Lalu saat mereka sudah tak berharap apa-apa lagi karena lelah yang melanda, tiba-tiba saja dari kejauhan ada seorang anak perempuan; yang bisa ketiganya prediksi masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sedang berjalan bergandengan dengan seorang lelaki tua. Kemudian ketiganya memprediksi bahwa lelaki tua itu adalah ayahnya. Setelah banyak berspekulasi dan berunding, akhirnya ketiganya memutuskan untuk menghampiri pasangan ayah dan anak itu.
Langkah mereka semakin mendekat, hingga saat jarak tak lagi memisahkan, Rufino berseru sopan, "Malam, Pak. Malam, Dek. Boleh minta waktunya sebentar?"
Ayah dan anak itu saling melirik, kemudian mengangguk sambil tersenyum. "Ada perlu apa, Nak?" kata si ayah lembut namun juga tegas.
"Kami mendapat tugas sekolah untuk meneliti moral anak bangsa dan kecintaannya terhadap budaya lokal. Kami sudah mensurvey 9 orang dan tersisa 1 orang lagi. Nah, selama survey, kami kebanyakan mensurvey orang-orang dewasa dan pelajar SMA. Untuk yang terakhir kami sepakat untuk mensurvey anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Anak Bapak masih SD, apa kami benar?" jelas dan tanya Rufino dengan ramah.
"Iya, aku kelas 4 SD, Kak." jawab si anak, dan ayahnya hanya tersenyum. Anak ini cantik, berkulit putih dan berambut hitam ikal. Matanya yang sipit jelas sekali menandakan bahwa ia adalah keturunan Tionghoa. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya, dan tautan tangannya dari si ayah pun tak pernah terlepas.
Setelah banyak berbincang, Rufino pun menanyakan yang menjadi tujuan intinya. Dengan senyum yang mengembang, ia bertanya, "Hari jadi kota Surabaya jatuh pada tanggal?"
Si anak dengan cepat menjawab, "31 Mei 1293."
"Hebat. Keren. Duh, pintarnya. Lagi, ya, siapakah tokoh yang membangkitkan semangat rakyat Surabaya untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA?"
"Bung Tomo. Semua rakyat Surabaya pasti tahu." jawabnya sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
"Wow. Hebat. Ya sudah, yang terakhir ya, Dek. Berhubung besok tanggal 17 Agustus; peringatan hari kemerdekaan Indonesia, tolong sebutkan isi teks proklamasi yang Ir. Soekarno bacakan saat pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia."
"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain. Diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta." ucap anak tersebut begitu tegas.
Rufino, Adit, Naufal dan juga si ayah pun bertepuk tangan. Anak itu mengucapkan teks proklamasi begitu tegas. Tak lupa satu kata pun. Semuanya tersenyum. Dengan cepat Naufal mengeluarkan stiker dan juga permen lolipop berukuran besar untuk si anak. Anak itu tersenyum senang, bahkan dia sedikit tertawa saat Naufal memberikan lolipop itu dengan cara berlutut.
Kemudian mereka bertiga pamit, menjabat tangan sambil mengucapkan terima kasih. Penutup yang baik memang bisa merubah mood awal.
Di bawah langit malam, semilir angin menerbangkan dedaunan kering yang berwarna kuning kecokelatan. Rufino, Adit dan Naufal pun mengeratkan jaket yang mereka pakai. Ketiganya pulang dengan senyum penuh arti. Seperti ada banyak pelajaran yang mereka dapatkan malam ini. Seperti ada rasa bangga yang membuat mereka ingin sekali membusungkan dada dan menepuk-nepuknya.
Mereka belajar bahwa umur bukanlah patokan dari segalanya. Termasuk soal kecintaannya terhadap budaya dan bangsa.
Kemudian ada beberapa penduduk memasang bendera merah putih yang diikatkan menggunakan tali pada kayu. Dengan sigap mereka bertiga hormat kepada bendera. Dengan tangan dan tubuh yang tegap. Dengan senyuman yang mengembang. Dengan kebanggaan mereka terhadap budaya dan negara mereka.
Hanya Tuhan yang tahu, bahwa ternyata dalam hati mereka masing-masing mengucapkan hal yang sama. Yaitu..
"Aku bangga menjadi anak Indonesia."
The end.
Share lagi yang baru kak��
ReplyDeleteAdmin subtitle inggrisnya dong��
Share lagi yang baru kak��
ReplyDeleteAdmin subtitle inggrisnya dong��
kerennn, bagus, teruskan nulisnya yah jangan berhenti .
ReplyDeleteteliti banget merhatiin mereka bertiga wkwkwkwk
from;titik bifurkasih