SEPUCUK SURAT UNTUK KAMU
Dear, Healer.
Selamat sore. Apakah senja nanti akan nampak indah di matamu? Di sini mendung, sepertinya hujan akan turun dengan deras. Semoga suaranya pun akan sampai ke sana, agar bisa menenangkan hari penatmu.
How was your day? Kuharap, kamu akan selalu baik-baik saja. Aamiin.
Ini adalah surat pertama yang kutulis untukmu, -entah akan ada lagi yang kedua, ketiga, dan yang ke selanjutnya atau tidak-, yang jelas, aku sangat ingin berdiskusi tentang banyak hal dan melibatkanmu; walaupun tanpa perlu saling membalas.
Kamu pernah bilang, namamu belum ada di Rest Area ini, yang kemudian kujawab, kapan-kapan akan kutulis. Dan, inilah saatnya, kuperkenalkan kamu ke duniaku. Selamat datang di tempat peristirahatanku.
Dan hal pertama yang sangat ingin kukatakan adalah, makanlah dengan baik, aku.. tak ingin kamu sakit. Kamu harus baik-baik saja. Bukankah langkah yang kita pilih bersama adalah untuk banyak hal baik?
Di poin ini, akan kuceritakan bagaimana awalnya aku bisa jatuh kepadamu. Perlu kamu ketahui, kamu adalah jawaban yang datang saat aku sedang di masa terpuruk se-terpuruknya. Aku bahkan tidak tahu lagi harus menjalani hidupku bagaimana. Aku terlalu jatuh, saat itu.
Mungkin kamu tidak sadar, saat aku absen kuliah selama seminggu, aku sedang menjalani masa recovery dari masalah terberat yang pernah kualami seumur hidup. Masalah yang bahkan harus ditangani oleh polisi, dan melibatkan banyak air mata orang-orang yang menyayangiku, terutama keluarga. Alhamdulillah-nya, Allah mengirimkan kamu untuk aku; untuk menghiburku, menyembuhkan luka-luka itu secara perlahan. Membenahinya. Membangunnya lagi agar kembali kokoh. Itulah mengapa aku memanggilmu.., Healer.
Kamu ingat, saat itu aku pernah bertanya bagaimana cara menghapus akun Facebook, aku juga kembali mem-private akun Instagram, dan bahkan nomor WhatsApp pun kuganti. Semua ini ada kaitannya. Terlingkar jelas. Lalu kamu masuk ke dalamnya. Ke ruang itu.
Kamu ingat, saat itu juga aku selalu muncul di sepertiga malam. Malam-malam sakral saat aku berdoa kepada Allah, meminta dijauhkan dari orang-orang yang berniat jahat kepadaku. Kamu bingung, kenapa aku selalu muncul di waktu itu saja, maka inilah jawabannya; aku menghadapNya, dengan surat-surat indahNya yang menenangkan, menyejukkan, ditemani kamu. Alhamdulillah.
Tapi mungkin.. kita terlalu jauh melangkah. Aku sampai lupa bagaimana seharusnya aku bersyukur tentang kehadiran kamu; seseorang yang Allah titipkan sementara. Jadi Allah menegurku, pun kamu, karena Allah sayang kita. Ini memang yang terbaik. Bersyukur banyak yang mengingatkan kita tentang hal ini.
Seseorang berkata, "Jika manusia yakin kepada takdir Allah dan hari esok, maka seharusnya dia tak akan memendam dirinya di hari ini terlalu lama." sebuah kalimat sederhana, yang membuatku sedikitnya terhibur, yang selanjutnya menjadi PR untukku, untuk benar-benar mengikhlaskan. Karena perihal ikhlas memang tak mudah. Sangat sulit. Tapi aku selalu berusaha menanamkan ini; bahwa manusia selalu berdampingan dengan zat aktif yang senantiasa bergerak maju, tumbuh, berkembang, rapuh, luruh, juga jarang kembali utuh, kemudian tumbuh kembali, dan bisa mati kapan saja. Kita, sejatinya, hanyalah pemilik sementara di kurun waktu tertentu.
Sudah kubilang, jangankan sesuatu yang belum halal, suami pun ---yang sudah Allah ridhai, kepemilikannya penuh berada di tanganNya, yang bisa kapan saja Dia ambil ruhnya.
Sudah kubilang juga, perihal pergi dan meninggalkan adalah hal yang pasti akan dihadapi oleh manusia. Dulu, saat aku belum dewasa, aku sangat sangat sangat takut ditinggal pergi. Kini, saat aku sudah belajar banyak hal dari pengalaman dan orang-orang sekitar, aku perlahan paham; seharusnya aku tak takut lagi tentang dua perkara itu; pergi dan meninggalkan, karena sejatinya, esensi hidup hanyalah untuk menghadap kepada Allah, Azza wa Jalla.
Sakit? Tentu saja. Jika perpisahan tidak sesakit ini, maka manusia tak perlu merasa takut untuk mati. Ya, kan?
Sebenarnya, aku adalah manusia yang sesekali diberikan anugerah oleh Allah, untuk tahu sedikit hal melalui mimpi. Wallahu'alam, tapi ini sering terjadi kepadaku. Kebetulan? Bisa jadi. Anugerah? Alhamdulillah. Mungkin lebih tepatnya, diberikan firasat melalui mimpi. Bukankah Usman bin Affan juga seperti itu? Dan juga masih banyak sahabat Nabi yang lainnya.
Sering seperti ini, malamnya aku bermimpi tentang seseorang yang kukenal, lalu esoknya hal besar terjadi tentangnya, termasuk tentang kematian. Innalillah, wallahu'alam, aku menganggap ini sebagai sebuah kebetulan sekaligus anugerah, yang terkadang juga membuatku merasa takut.
Sebenarnya, sebelum kamu memutuskan untuk pergi, malamnya aku bermimpi, jelas sekali di mimpi itu kamu mengirimkan pesan singkat yang isinya: "Maaf, ya, aku pilih dia." lagi-lagi, aku terbangun di sepertiga malam, tertegun, ada apa ini? Kenapa sakitnya terasa nyata sekali? Aku sampai meremas tanganku sendiri saat itu.
Lalu, subuhnya, kuputuskan untuk bercerita kepada salah satu sahabatku, Dina. Saat itu dia berkata, "Tenang, Fan, itu hanya mimpi." dia lupa, bahwa aku pun sempat memimpikan tentang dia, lalu beberapa hari kemudian mimpiku seperti sebuah teka-teki, yang kemudian menjadi sebuah fakta.
Jujur, saat aku bercerita kepada Dina, hal yang kupikirkan pertama kali adalah.. kamu lebih memilih perempuan lain, yang mungkin datang dari masa lalumu. Aku insecure. Sangat. Aku yang sudah memiliki firasat, akhirnya berani untuk bertanya dengan tegas di pagi harinya,
"Decide between stay or leave?"
Yang kuketik sambil menangis. Tak apa-apa jika menjadi perempuan yang cengeng, kan?
Beberapa hari setelah itu, aku kembali teringat mimpiku. Ternyata, aku salah menafsirkan. Dia yang kamu maksud bukanlah sesosok perempuan lain, melainkan.. Dia, Yang Maha Segalanya. Aku tersenyum. Sungguh.
Karena memang bukan hanya kamu yang mengalami pergolakan batin mengenai masalah spiritual, diriku pun begitu. Kubilang, aku lupa cara bersyukur tentang kamu, yang Allah titipkan saat itu. May Allah forgive me and you, aamiin.
Tapi, kamu pergi meninggalkan ruang kosong yang tak bisa tergambar jelas, yang pada akhirnya membuat siapa pun tak bisa menempatinya. I mean, ruangmu terlalu khusus dan spesial. Kamu punya porsi tersendiri di hidupku. Terlepas akan seperti apa ke depannya, segala hal tentang kamu akan kusimpan baik-baik.
Kuharap, tentangku pun sama berartinya untukmu. Atau paling tidak, aku bukanlah salah satu bagian dari memorimu yang buruk.
Perihalrindu, aku menampungnya hari demi hari. Entah sampai kapan akan terus seperti ini. Aku selalu mempersilakannya masuk untuk menemani hari-hariku. Berdamai dengannya. Berdamai dengan hati. Karena jujur, kamu adalah orang yang pertama kali kupikirkan saat mentari pagi mulai menyapa, atau saat senja yang menjadi transisi antara sore dan malam, yang hanya bisa kusampaikan kepadaNya, dengan ber-istighfar, dan berdoa semua yang terbaik untukmu. Juga untukku. Terdengar klise memang, tapi begitulah kenyataannya.
Karena dari semua kejadian ini, yang paling menyiksaku adalah tumpukan-tumpukan rindu yang berserakan, dan mimpi-mimpi kita yang perlu kugantungkan; biar saja Allah yang menjawabnya.
Sekali lagi, tak apa-apa jika menjadi perempuan yang cengeng, kan?
Surat ini terlalu random kutulis. Tidak beurutan. Yang terpenting, banyak hal sudah tersampaikan. Entah langkah yang benar atau tidak menyampaikan semua ini, aku.. hanya ingin mencoba berdiskusi; dengan Tuhan, dengan semesta, pun dengan kamu.
Kudoakan yang terbaik untukmu. Teruslah konsisten di jalan ini. Semoga aku pun bisa. Aamiin.
Dan, jangan lupa untuk makan yang teratur, jangan tidur terlalu larut, jangan terlambat bangun subuh. Hiduplah dengan baik dan sehat, maka aku pun akan baik-baik saja. Karena semua masih sama, masih pada tempatnya, seperti dulu.
Selalu ada kebahagiaan jika kita berpegang teguh pada hal-hal baik. Ya, kan?
Berikan yang terbaik, maka kebaikan itu akan kembali kepadamu di kemudian hari.
Yang jelas, aku tak pernah menyesal memilihmu. Bukankah setiap pertemuan selalu memiliki alasan mengapa kita dipertemukan?
There's sunshine after every rainbow, Illegal Sunshine. Hehe.
Terima kasih untuk semua lagu-lagu indahmu.
Pohonmu,
Fani
Selamat sore. Apakah senja nanti akan nampak indah di matamu? Di sini mendung, sepertinya hujan akan turun dengan deras. Semoga suaranya pun akan sampai ke sana, agar bisa menenangkan hari penatmu.
How was your day? Kuharap, kamu akan selalu baik-baik saja. Aamiin.
Ini adalah surat pertama yang kutulis untukmu, -entah akan ada lagi yang kedua, ketiga, dan yang ke selanjutnya atau tidak-, yang jelas, aku sangat ingin berdiskusi tentang banyak hal dan melibatkanmu; walaupun tanpa perlu saling membalas.
Kamu pernah bilang, namamu belum ada di Rest Area ini, yang kemudian kujawab, kapan-kapan akan kutulis. Dan, inilah saatnya, kuperkenalkan kamu ke duniaku. Selamat datang di tempat peristirahatanku.
Dan hal pertama yang sangat ingin kukatakan adalah, makanlah dengan baik, aku.. tak ingin kamu sakit. Kamu harus baik-baik saja. Bukankah langkah yang kita pilih bersama adalah untuk banyak hal baik?
Di poin ini, akan kuceritakan bagaimana awalnya aku bisa jatuh kepadamu. Perlu kamu ketahui, kamu adalah jawaban yang datang saat aku sedang di masa terpuruk se-terpuruknya. Aku bahkan tidak tahu lagi harus menjalani hidupku bagaimana. Aku terlalu jatuh, saat itu.
Mungkin kamu tidak sadar, saat aku absen kuliah selama seminggu, aku sedang menjalani masa recovery dari masalah terberat yang pernah kualami seumur hidup. Masalah yang bahkan harus ditangani oleh polisi, dan melibatkan banyak air mata orang-orang yang menyayangiku, terutama keluarga. Alhamdulillah-nya, Allah mengirimkan kamu untuk aku; untuk menghiburku, menyembuhkan luka-luka itu secara perlahan. Membenahinya. Membangunnya lagi agar kembali kokoh. Itulah mengapa aku memanggilmu.., Healer.
Kamu ingat, saat itu aku pernah bertanya bagaimana cara menghapus akun Facebook, aku juga kembali mem-private akun Instagram, dan bahkan nomor WhatsApp pun kuganti. Semua ini ada kaitannya. Terlingkar jelas. Lalu kamu masuk ke dalamnya. Ke ruang itu.
Kamu ingat, saat itu juga aku selalu muncul di sepertiga malam. Malam-malam sakral saat aku berdoa kepada Allah, meminta dijauhkan dari orang-orang yang berniat jahat kepadaku. Kamu bingung, kenapa aku selalu muncul di waktu itu saja, maka inilah jawabannya; aku menghadapNya, dengan surat-surat indahNya yang menenangkan, menyejukkan, ditemani kamu. Alhamdulillah.
Tapi mungkin.. kita terlalu jauh melangkah. Aku sampai lupa bagaimana seharusnya aku bersyukur tentang kehadiran kamu; seseorang yang Allah titipkan sementara. Jadi Allah menegurku, pun kamu, karena Allah sayang kita. Ini memang yang terbaik. Bersyukur banyak yang mengingatkan kita tentang hal ini.
Seseorang berkata, "Jika manusia yakin kepada takdir Allah dan hari esok, maka seharusnya dia tak akan memendam dirinya di hari ini terlalu lama." sebuah kalimat sederhana, yang membuatku sedikitnya terhibur, yang selanjutnya menjadi PR untukku, untuk benar-benar mengikhlaskan. Karena perihal ikhlas memang tak mudah. Sangat sulit. Tapi aku selalu berusaha menanamkan ini; bahwa manusia selalu berdampingan dengan zat aktif yang senantiasa bergerak maju, tumbuh, berkembang, rapuh, luruh, juga jarang kembali utuh, kemudian tumbuh kembali, dan bisa mati kapan saja. Kita, sejatinya, hanyalah pemilik sementara di kurun waktu tertentu.
Sudah kubilang, jangankan sesuatu yang belum halal, suami pun ---yang sudah Allah ridhai, kepemilikannya penuh berada di tanganNya, yang bisa kapan saja Dia ambil ruhnya.
Sudah kubilang juga, perihal pergi dan meninggalkan adalah hal yang pasti akan dihadapi oleh manusia. Dulu, saat aku belum dewasa, aku sangat sangat sangat takut ditinggal pergi. Kini, saat aku sudah belajar banyak hal dari pengalaman dan orang-orang sekitar, aku perlahan paham; seharusnya aku tak takut lagi tentang dua perkara itu; pergi dan meninggalkan, karena sejatinya, esensi hidup hanyalah untuk menghadap kepada Allah, Azza wa Jalla.
Sakit? Tentu saja. Jika perpisahan tidak sesakit ini, maka manusia tak perlu merasa takut untuk mati. Ya, kan?
Sebenarnya, aku adalah manusia yang sesekali diberikan anugerah oleh Allah, untuk tahu sedikit hal melalui mimpi. Wallahu'alam, tapi ini sering terjadi kepadaku. Kebetulan? Bisa jadi. Anugerah? Alhamdulillah. Mungkin lebih tepatnya, diberikan firasat melalui mimpi. Bukankah Usman bin Affan juga seperti itu? Dan juga masih banyak sahabat Nabi yang lainnya.
Sering seperti ini, malamnya aku bermimpi tentang seseorang yang kukenal, lalu esoknya hal besar terjadi tentangnya, termasuk tentang kematian. Innalillah, wallahu'alam, aku menganggap ini sebagai sebuah kebetulan sekaligus anugerah, yang terkadang juga membuatku merasa takut.
Sebenarnya, sebelum kamu memutuskan untuk pergi, malamnya aku bermimpi, jelas sekali di mimpi itu kamu mengirimkan pesan singkat yang isinya: "Maaf, ya, aku pilih dia." lagi-lagi, aku terbangun di sepertiga malam, tertegun, ada apa ini? Kenapa sakitnya terasa nyata sekali? Aku sampai meremas tanganku sendiri saat itu.
Lalu, subuhnya, kuputuskan untuk bercerita kepada salah satu sahabatku, Dina. Saat itu dia berkata, "Tenang, Fan, itu hanya mimpi." dia lupa, bahwa aku pun sempat memimpikan tentang dia, lalu beberapa hari kemudian mimpiku seperti sebuah teka-teki, yang kemudian menjadi sebuah fakta.
Jujur, saat aku bercerita kepada Dina, hal yang kupikirkan pertama kali adalah.. kamu lebih memilih perempuan lain, yang mungkin datang dari masa lalumu. Aku insecure. Sangat. Aku yang sudah memiliki firasat, akhirnya berani untuk bertanya dengan tegas di pagi harinya,
"Decide between stay or leave?"
Yang kuketik sambil menangis. Tak apa-apa jika menjadi perempuan yang cengeng, kan?
Beberapa hari setelah itu, aku kembali teringat mimpiku. Ternyata, aku salah menafsirkan. Dia yang kamu maksud bukanlah sesosok perempuan lain, melainkan.. Dia, Yang Maha Segalanya. Aku tersenyum. Sungguh.
Karena memang bukan hanya kamu yang mengalami pergolakan batin mengenai masalah spiritual, diriku pun begitu. Kubilang, aku lupa cara bersyukur tentang kamu, yang Allah titipkan saat itu. May Allah forgive me and you, aamiin.
Tapi, kamu pergi meninggalkan ruang kosong yang tak bisa tergambar jelas, yang pada akhirnya membuat siapa pun tak bisa menempatinya. I mean, ruangmu terlalu khusus dan spesial. Kamu punya porsi tersendiri di hidupku. Terlepas akan seperti apa ke depannya, segala hal tentang kamu akan kusimpan baik-baik.
Kuharap, tentangku pun sama berartinya untukmu. Atau paling tidak, aku bukanlah salah satu bagian dari memorimu yang buruk.
Perihal
Karena dari semua kejadian ini, yang paling menyiksaku adalah tumpukan-tumpukan rindu yang berserakan, dan mimpi-mimpi kita yang perlu kugantungkan; biar saja Allah yang menjawabnya.
Sekali lagi, tak apa-apa jika menjadi perempuan yang cengeng, kan?
Surat ini terlalu random kutulis. Tidak beurutan. Yang terpenting, banyak hal sudah tersampaikan. Entah langkah yang benar atau tidak menyampaikan semua ini, aku.. hanya ingin mencoba berdiskusi; dengan Tuhan, dengan semesta, pun dengan kamu.
Kudoakan yang terbaik untukmu. Teruslah konsisten di jalan ini. Semoga aku pun bisa. Aamiin.
Dan, jangan lupa untuk makan yang teratur, jangan tidur terlalu larut, jangan terlambat bangun subuh. Hiduplah dengan baik dan sehat, maka aku pun akan baik-baik saja. Karena semua masih sama, masih pada tempatnya, seperti dulu.
Selalu ada kebahagiaan jika kita berpegang teguh pada hal-hal baik. Ya, kan?
Berikan yang terbaik, maka kebaikan itu akan kembali kepadamu di kemudian hari.
Yang jelas, aku tak pernah menyesal memilihmu. Bukankah setiap pertemuan selalu memiliki alasan mengapa kita dipertemukan?
There's sunshine after every rainbow, Illegal Sunshine. Hehe.
Terima kasih untuk semua lagu-lagu indahmu.
Pohonmu,
Fani
Comments
Post a Comment